Tafsir

Penjelasan tentang Makna Surah Al-Ma’idah (5) ayat 2

Foto: Unsplash
36views

Allah berfirman dalam surah Al-Ma’idah (5) ayat 2:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-ayiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang ‘hadyu’ dan ‘qalaid’, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kalian telah bertahalul, maka silakan berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalangi-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Saling tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ

Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah

BACA JUGA: Mengenal Agama Bangsa Arab

Syiar-syiar Allah banyak jumlahnya dan tidak boleh dilanggar, termasuk ketika seseorang berhaji atau ihram maka janganlah ia melanggar aturan haji dan hal yang dilarang saat ihram. Semuanya memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar. Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj (22) ayat 32:

ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.

Jika ada satu syiar Allah yang telah diketahui maka janganlah seseorang itu meremehkan, melanggar, atau bermudah-mudahan terhadapnya.

Selanjutnya, firman Allah:

وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.

Bulan-bulan haram itu ada empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Adapun tentang maksud firman-Nya, “dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram“, terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, jangan berperang di bulan-bulan tersebut.

Orang-orang Arab mengetahui bahwa bulan-bulan tersebut diharamkan untuk bertempur dan berperang mereka telah mengagungkan bulan-bulan haram sebelum kemunculan Rasulullah ﷺ dan hal tersebut kemudian diafirmasi oleh Islam.

Para ulama berbeda pendapat apakah larangan perang di bulan-bulan haram masih berlaku hingga sekarang atau telah dihapus. Dalam ayat lain, Allah juga menyebutkan larangan berperang pada bulan haram, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 217:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar”….

Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama berkaitan dengan masalah tersebut:

  1. Hukum itu telah di-mansukh (dihapus) dengan firman Allah dalam Surah At-Taubah (9) ayat 5:

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ 

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.

Ayat tersebut dipahami telah me-mansukh-kan larangan membunuh di bulan-bulan haram sehingga larangan berperang di bulan-bulan haram sudah tidak berlaku. Ini dipertegas dengan peristiwa Perang Thaif yang kala itu Rasulullah ﷺ berperang pada bulan Dzulqa’dah.

  1. Hukum ini tetap berlaku. Ini adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin, kecuali dalam dua kondisi yaitu:

– ketika kita diserang lalu membela diri maka tidak mengapa berperang di bulan haram. Adapun memulai perang maka ini terlarang; dan

– juga dibolehkan apabila kita berperang sebelum bulan haram kemudian ternyata perang tersebut berlanjut hingga bulan haram.

Pendapat kedua, jangan bermaksiat di bulan-bulan tersebut.

Bermaksiat di bulan-bulan haram dosanya tidak sama dengan bermaksiat di bulan-bulan lainnya. Allah berfirman Surah At-Taubah (9) ayat 36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

BACA JUGA: Penjelasan tentang Makna Kufur dan Syirik

Kemudian, firman Allah:

وَلَا الْهَدْيَ

Jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyu

الْهَدْيَ adalah hewan yang dihadiahkan ke Baitullah untuk disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada para fakir miskin Tanah Haram. Pada musim haji, wajib bagi orang yang berhaji dengan Haji Qiran dan Tamattu’ untuk menyembelih hadyu. Di sini hadyu sifatnya umum, mencakup kambing, sapi, dan unta.

Adapun firman Allah:

وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ

Dan tidak pula binatang-binatang qalaid

الْقَلَاۤىِٕدَ adalah hewan unta yang diberi tanda. Ini telah ada sejak zaman kaum musyrikin. Jika mereka ingin menyumbangkan atau menghadiahkan unta ke Baitullah maka mereka akan menandainya. Tanda itu terbuat dari kulit-kulit pohon yang berada di Tanah Haram, lalu mereka kalungkan kepada unta tersebut. Lalu, mereka melepaskan unta yang telah diberi tanda tersebut. Jika unta tersebut mulai berjalan ke Tanah Haram maka tidak boleh ada yang mengganggu. Pada ayat ini, Allah mengatakan untuk tidak melanggar hal tersebut, yaitu jangan kalian mengganggu hewan-hewan itu karena telah diserahkan untuk Allah.

Hadyu tidak boleh dicuri atau dirampas. Begitu pula halnya dengan qalaid, tidak boleh diganggu dengan mengambil atau menghilangkan tandanya, meskipun tidak ada tuannya, karena tanda ini merupakan syiar yang membuat orang lain termotivasi ketika melihatnya. Juga hendaknya hewan tersebut dibiarkan berjalan dari negerinya menuju Mekkah.

Dahulu orang yang ingin menyumbangkan unta bisa melakukannya kapan saja dan dia bisa melepaskannya berjalan menuju Mekkah tanpa ada yang mengganggunya sama sekali. Adapun pada zaman sekarang, hal ini sudah tidak dilakukan lagi dan telah ditinggalkan.

Selanjutnya, firman Allah:

يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗ

Mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya.

Maksudnya adalah mencari karunia dengan berdagang dan mencari keridhaan dengan haji dan umrah. Haram hukumnya mengganggu orang yang sedang menuju Tanah Haram. Ini perintah spesifik dari Allah.

Kadang kita dapati sebagian orang di kota Mekkah mengganggu pendatang yang haji dan umrah. Alih-alih membantu orang yang sedang haji dan umrah, mereka malah menipunya untuk mengeruk sebanyak-banyaknya harta dari orang yang mereka tipu. Padahal, dahulu orang-orang jahiliyah justru sangat bangga bisa melayani tamu-tamu Allah. Adapun sekarang, bukannya melayani tapi malah menipu. Yang datang untuk sekadar berdagang saja Allah larang untuk diganggu, terlebih lagi dengan mengganggu orang yang sedang haji atau umrah.

BACA JUGA: Penjelasan tentang Perintah Menyembelih Seekor Sapi Betina

Firman Allah:

وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗ

Dan apabila kalian telah bertahlul, maka silakan berburu

Pada ayat sebelumnya Allah melarang untuk berburu jika dalam keadaan ihram. Allah berfirman:

غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ

(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan hewan buruan sedangkan kalian sedang mengerjakan ihram

Maka, pada ayat ini, Allah membolehkan untuk berburu jika telah bertahallul.

Selanjutnya firman Allah:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ

Dan janganlah sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka)

Tentu kaum Mukminin benci kepada kaum musyrik yang menghalangi mereka ke Mekkah sehingga tidak bisa melaksanakan umrah. Meskipun demikian, Allah melarang kaum Mukminin berbuat aniaya karena kebencian tersebut. Ini membutuhkan hati yang kuat. Sebab, kebanyakan orang apabila disakiti maka ia ingin membalas dan berbuat aniaya. Oleh karenanya, Allah mengatakan, “Jangan sampai kebencian kalian terhadap suatu kaum yang menghalangi kalian dari Tanah Haram membuat kalian berbuat pelanggaran “.

Allah mengajarkan kita untuk berakhlak mulia. Jangan sampai kejengkelan kita terhadap orang lain membuat kita bertindak zalim kepadanya. Terkadang, ketika kita memiliki masalah pribadi terhadap orang lain, lalu ketika ditanya tentang orang tersebut, kita pun menjawab secara tidak adil dan membuat tuduhan yang tidak semestinya. Hendaknya kita berusaha untuk selalu adil dalam berkata dan menyikapi.

Begitu pula dalam masalah dakwah. Terkadang kita benci dengan sebagian orang yang menuduh kita dengan tuduhan dusta. Maka, kita tidak boleh membalasnya dengan kedustaan juga atau dengan melebih-lebihkan. Kezalimannya terhadap diri kita tidak boleh membuat kita berlaku zalim juga terhadapnya. Kita harus inshaf (proporsional) dan adil. Jika kita menyikapinya maka harus dengan keadilan dan sesuai dengan realitas sebenarnya. Kita harus berusaha seobjektif mungkin.

Ibnu Taimiyah memiliki akhlak yang luar biasa terkait dengan hal ini. Beliau dimusuhi oleh ahli bid’ah dan difitnah dengan hal-hal dusta sehingga beliau masuk penjara. Beliau mengalami begitu banyak ujian hingga beliau pun tidak menikah, tidak memiliki budak, bahkan beliau sulit untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun, beliau tidak pernah menyikapi dengan sifat yang zalim kepada musuh dakwahnya. Beliau selalu berusaha adil dan proporsional dalam menyanggah kalangan Mu’tazilah, Asya’irah, ahli filsafat, bahkan Nasrani.

Terkait dengan ayat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan kebencian terhadap kafir yang pada dasarnya itu merupakan kebencian yang diperintahkan. Jika dalam hal kebencian yang diperintahkan pun Allah melarang seorang Muslim untuk menzalimi orang kafir yang dibencinya, maka bagaimana lagi dengan kebencian kepada sesama Muslim karena sebab takwil, syubhat, ataupun hawa nafsu? Tentu yang demikian lebih layak untuk tidak dizalimi melainkan disikapi secara adil.”

BACA JUGA: Penjelasan tentang Keimanan Harus Disertai dengan Istighfar

Kemudian, firman Allah:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ

Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.

Ini salah satu ayat yang menunjukkan pentingnya bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan sebab kita adalah makhluk sosial yang butuh untuk saling bekerja sama. Jika kita berteman dengan meniatkan untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, kita telah menjalankan ayat ini. Ini adalah prinsip dalam bermasyarakat. Kita menolongnya dan dia pun menolong kita. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Salinglah kalian memberi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”.

Kata الْبِرِّ dan التَّقْوٰىۖ adalah 2 kata yang jika hanya disebutkan salah satunya maka mencakup yang lain. Namun, jika digabungkan kedua-duanya maka masing-masing memiliki makna yang spesifik. Ini seperti halnya kata Islam dan iman. Jika hanya disebutkan salah satunya maka Islam artinya iman dan jman artinya Islam. Namun, jika disebutkan keduanya maka masing-masing memiliki makna yang spesifik  Islam maksudnya adalah amalan zahir dan iman maksudnya adalah amalan batin.

Begitu juga dengan الْبِرِّ dan التَّقْوٰىۖ. Jika disebutkan al-birr saja maka maknanya mencakup berbuat baik dan meninggalkan maksiat. Juga jika disebutkan at-taqwa saja maka mencakup berbuat baik dan meninggalkan maksiat. Namun, jika keduanya digabungkan maka sebagian ulama, seperti Syaikh Al-Sa’di mengatakan bahwa al-birr berkaitan dengan amalan-amalan kebajikan, sementara at-taqwa berkaitan dengan meninggalkan kemaksiatan.

Dengan demikian, makna ayat ini adalah, “Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan saling tolong-menolonglah kalian dalam meninggalkan kemungkaran“. Semua ini membutuhkan kerja sama di antara kita.

Kerja sama ini bukan hanya untuk ruang lingkup yang besar saja. Bahkan, dalam ruang ruang lingkup kecil, seperti rumah tangga, pun kita butuh saling bekerja sama. Contohnya, kita sebagai suami bekerja sama dengan istri tentang bagaimana caranya agar anak-anak bisa berbuat kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan. Bahkan, kita memulai belajar bekerja sama dalam lingkup yang kecil, yaitu keluarga, dan selanjutnya kita terapkan pada ruang lingkup yang lebih besar.

Bekerja sama memiliki faedah yang sangat banyak. Kita bisa saling menghargai antara satu dengan yang lainnya serta bisa saling mengetahui kelebihan orang lain serta kekurangan diri sendiri. Berbeda halnya dengan orang yang selalu sendirian, yang sangat berpotensi terjangkit rasa ujub dan sombong karena merasa mampu melakukan apa pun secara sendiri.

Kemudian firman Allah:

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ

Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Sejatinya perintah Allah sebelumnya pun mencukupi, “Dan saling tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.

Namun, Allah menegaskan dan menjelaskan dengan menyebutkan lawannya karena lawan dari tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa adalah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Di sana, ada orang yang saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan juga ada orang saling tolong-menolong dalam menimbulkan permusuhan.

BACA JUGA: Penjelasan tentang Harta dan Anak adalah Perhiasan Kehidupan Dunia

Selanjutnya firman Allah:

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan bertakwalah kalian kepada Allah Sesungguhnya Allah amat berat siksanya.

Hukuman Allah sangat keras oleh karenanya jangan melanggar semua larangan Allah. Hidup ini hanya sesaat, Jangan sampai ia menzalimi orang lain sehingga ia merasakan azab yang pedih pada Hari Kiamat kelak.[]

SUMBER: TAFSIR AT TAYSIR SURAH AL-MA’IDAH, karya: Ust. Firanda Andirja, Penerbit: Ustadz Firanda Andirja Office

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response