Tafsir

Penjelasan Tentang Penting untuk Bersyukur atas Makanan dan Minuman

Foto: Pixabay
53views

Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 93:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاَحْسَنُوْا ۗوَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, tentang apa yang mereka makan (dahulu) apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Allah menyatakan bahwa tidak ada dosa bagi orang yang beriman dan beramal saleh terhadap apa yang mereka makan jika mereka bertakwa, beriman, dan beramal saleh; kemudian bertakwa dan beriman; kemudian bertakwa dan berbuat ihsan. Al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat itu merupakan dalil bahwa orang bertakwa yang muhsin (berbuat ihsan) itu lebih afdhal dibandingkan orang bertakwa yang beriman.

Sementara itu, menurut Al-Biqa’i, ayat ini mengandung motivasi untuk bersikap warak dalam perihal makanan dan minuman, sekaligus mengisyaratkan bahwa seseorang tidak akan mencapai level ihsan kecuali dengan hal tersebut.

BACA JUGA: Allah Melarang untuk Menghalalkan yang Haram dan Mengharamkan yang Halal

Ayat ini turun berkaitan dengan sebagian sahabat yang sempat minum khamar dan wafat, sementara ketika itu khamar belum diharamkan. Para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan orang yang sudah meninggal dunia sedangkan dia sempat minum khamar?” Akhirnya, Allah menurunkan ayat tersebut, yaitu tidak masalah bagi mereka selama mereka beriman dan beramal saleh karena pada saat itu khamar memang belum diharamkan.

Hal yang mirip juga seperti ketika turun ayat tentang perubahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke arah Ka’bah. Ini sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 144:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ

“… maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram….”

Ternyata, ada sebagian sahabat yang sudah meninggal dunia yang mereka belum sempat shalat menghadap Ka’bah, melainkan ke arah Baitul Maqdis. Para sahabat bertanya tentang mereka. Maka, Allah pun menurunkan wahyu yang menjelaskan perihal tersebut, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 143:

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ

“… Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu)….”

BACA JUGA: Pahala Terbaik Bagi Mereka yang Berbuat Baik

Selanjutnya, kembali kepada ayat di atas, “kebalikan” dari ayat tersebut adalah orang-orang kafir berdosa pada makanan-makanan mereka. Allah menjelaskan bahwa tidak mengapa bagi orang yang beriman dan beramal saleh pada apa saja yang mereka makan, dengan syarat:

Pertama, jika mereka bertakwa. Para ulama menjelaskan bahwa artinya adalah menjauhi makanan yang haram.

Kedua, jika mereka beriman yaitu beriman kepada Allah.

Ketiga, jika mereka beramal saleh. Artinya adalah menjadikan apa yang dikonsumsi sebagai penolong untuk beramal saleh dan kuat untuk beribadah.

Keempat, jika mereka bertakwa. Allah mengulanginya lagi agar bertakwa. Para ulama menjelaskan maksudnya adalah tetap mempertahankan ketakwaannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa’ (4) ayat 136:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا

“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman….”

Maksudnya adalah hendaknya kalian Istikamah di atas keimanan kalian.

Kelima, jika mereka beriman. Artinya mempertahankan keimanan.

Keenam, jika mereka bertakwa. Artinya istikamah dalam ketakwaan.

Ketujuh, jika mereka berbuat ihsan. Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya atau Allah melihat kita.

Agar segala makanan kita menjadi halal dan kita tidak berdosa, hendaknya kita memenuhi tujuh persyaratan tersebut. Manakala kita tidak memenuhi tujuh persyaratannya tersebut maka makanan kita menjadi tidak halal dan dosa, kemudian kita akan disiksa pada Hari Kiamat kelak, hanya karena makanan dan minuman kita.

Oleh karenanya, di dalam banyak ayat, ketika Allah menyebutkan tentang kenikmatan kepada orang-orang beriman maka Allah juga memerintahkan agar makan dan minum mereka disertai dengan syukur dan amal saleh. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 172:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah….”

BACA JUGA: Dua Kenikmatan yang Membuat Banyak Manusia Tertipu

Nikmat makan dan minum membawa konsekuensi untuk bersyukur kepada Allah. Jadi, orang beriman, ketika makan dan minum, maka dia tahu bahwa makanan dan minuman tersebut adalah nikmat dari Allah yang ada kewajiban baginya untuk mensyukurinya. Allah berfirman dalam Surah At-Takasur (102) ayat 8:

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ

“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).”

Termasuk kenikmatan yang besar adalah nikmat makanan. Jika nikmat makanan tersebut tidak membuahkan rasa syukur kepada Allah, maka akan menjadi musibah bagi yang bersangkutan. Allah mengingatkan hal ini agar orang-orang beriman memakan dari rezeki halal dan senantiasa bersyukur kepada Allah. Allah berfirman dalam Surah Al-Mu’minun (23) ayat 51:

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ

“Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan….”

Jika pada ayat sebelumnya Allah menggandengkan makan disertai dengan rasa syukur, dalam ayat ini Allah menggandengkan makan dengan beramal saleh. Artinya, nikmat makanan melazimkan syukur dalam bentuk amal saleh karena itulah bukti paling kuat dari rasa syukur kepada Allah.

Adapun orang-orang kafir, mereka bersenang-senang dengan makanan dan minuman mereka sehingga mereka lupa untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman dalam Surah Muhammad (47) ayat 12:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَتَمَتَّعُوْنَ وَيَأْكُلُوْنَ كَمَا تَأْكُلُ الْاَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ

“… Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan (dunia), dan mereka makan seperti hewan makan; dan (kelak) nerakalah tempat tinggal bagi mereka.”

BACA JUGA: Penegasan Allah tentang Golongan yang Dikatakan Telah Kafir

Kenapa makanan itu halal bagi orang-orang beriman dan menjadi dosa bagi orang-orang kafir? Karena orang-orang kafir tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut sehingga mereka akan disiksa akibat apa yang mereka makan. Semakin banyak mereka makan, semakin berat siksaan mereka pada Hari Kiamat karena rasa syukur dari nikmat makanan tersebut tidak mereka tunaikan. Oleh karenanya, Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf (7) ayat 32:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ 

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dari rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat….'”

Ini adalah peringatan bagi kita bahwa makan dan minum itu ada konsekuensinya. Jika kita ingin agar makanan dan minuman kita tidak menjadi dosa, hendaknya kita memenuhi persyaratannya. Yaitu, dengan menghindari makanan yang haram, beramal saleh, dan menjadikan apa yang kita konsumsi menjadi sarana untuk semangat dalam beribadah, kemudian mempertahankan keimanan, ketakwaan, dan berbuat ihsan, maka makanan kita menjadi halal.

Janganlah meniru perbuatan orang-orang kafir. Mereka hanya bersenang-senang. Kelezatan makanan dan minuman justru menyebabkan mereka lupa dengan akhirat dan lupa untuk mensyukurinya secara benar. Allah menyebutkan tentang sifat mereka dalam Surah Al-Insyiqaq (84) ayat 13:

اِنَّهٗ كَانَ فِيْٓ اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ

“Sungguh, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya (yang sama-sama kafir).”

Kemudian, firman Allah,

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ini di antara dalil akidah Ahli Sunnah bahwa Allah memiliki sifat mencintai, yaitu mencintai para hamba-Nya yang berbuat ihsan. Adapun kalangan ahli bid’ah mengatakan bahwa Allah tidak bisa dan tidak boleh mencintai. Kalau begitu, lalu bagaimana dengan ayat ini? Mereka mengatakan bahwa Allah mencintai itu maksudnya Allah memberikan pahala. Mereka melakukan takwil karena, menurut anggapan mereka, Allah tidak boleh memiliki sifat mencintai.

Sanggahan terhadap pendapat mereka:

Bukankah di antara orang yang paling dicintai oleh Allah adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ﷺ? Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ (4) ayat 125:

وَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

“… Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(Nya).”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.”

Maka, kita tanyakan kepada mereka (ahli bid’ah), apakah Allah mencintai Nabi Muhammad ﷺ atau tidak?

BACA JUGA: Bantahan Allah kepada Mereka yang Mengaku sebagai Kekasih dan Anak-Anak-Nya

Jika mereka berkata bahwa arti mencintai bagi Allah adalah memberi pahala, kita katakan bahwa mencintai dan memberi pahala itu merupakan dua hal yang berbeda. Dan, ini mengandung konsekuensi bahwa Allah tidak mencintai Nabi ﷺ tetapi hanya memberi pahala kepadanya. Jika perkaranya demikian, lantas mengapa Nabi ﷺ disebut dengan kekasih Allah?

Di dalam banyak ayat, Allah berfirman, di antaranya adalah:

Pertama, dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 222:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“… Sungguh Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”

Kedua, dalam Surah Ali-Imran (3) ayat 76:

 فَاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ

“… Maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.”

Ketiga, dalam Surah Ali-Imran (3) ayat 134:

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Ketika Allah menyebutkan bahwa Allah mencintai para hamba-Nya, dan kita tahu bahwa Allah mencintai kita, maka kita akan bertambah semangat di dalam beribadah, yang itu lebih dahsyat dibandingkan tahu bahwa Allah memberi pahala. Selanjutnya, tentu sifat cinta pada Allah tidak sama dengan sifat cinta pada makhluk-Nya.[]

SUMBER: TAFSIR AT-TAYSIR SURAH AL-MA’IDAH, Penulis: Ust. Firanda Andirja, Penerbit: Ustadz Firanda Andirja Office.

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response