Historia/Tarikh

Rasulullah dan Haji Wada

foto: unsplash
32views

Tugas-tugas berdakwah, menyampaikan risalah, membangun masyarakat baru atas dasar pengukuhan terhadap uluhiyah Allah dan pengenyahan uluhiyah dari selain-Nya kini telah sempurna. Seolah-olah ada bisikan halus yang merambat di dalam sanubari Rasulullah ﷺ, yang mengabarkan bahwa keberadaan beliau di dunia sudah mendekati babak akhir. Maka, tatkala beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman pada tahun 10 H., beliau bersabda kepadanya, “Wahai Mu’adz, mungkin engkau tidak akan bertemu aku lagi sesudah tahun ini, dan bisa jadi engkau akan lewat di masjidku dan kuburanku ini.” Seketika itu Mu’adz menangis karena khawatir akan berpisah dengan Rasulullah ﷺ.

Allah telah menghendaki agar Rasulullah ﷺ dapat menyaksikan buah dakwah beliau, yang tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang harus beliau hadapi selama lebih dari dua puluh tahun untuk mewujudkannya. Berbagai kabilah Arab dan para penduduknya berhimpun di Mekkah, siap melaksanakan syariat Islam dan hukum- hukumnya, memberikan kesaksian untuk melaksanakan amanat, menyampaikan risalah, dan memberikan nasihat kepada umat manusia. Rasulullah ﷺ mengumumkan niatnya untuk melaksanakan haji yang mabrur. Maka, manusia datang berbondong-bondong ke Madinah karena semuanya hendak ikut beliau.

Pada hari Sabtu empat hari sebelum akhir bulan Dzulqa’dah, beliau berkemas kemas untuk berangkat, dengan menyiapkan bekal perjalanan. Beliau memakai minyak wangi dan mengenakan mantel. Selepas Zuhur beliau berangkat hingga tiba di Dzul Hulaifah sebelum shalat Asar. Beliau shalat Asar di sana dan tetap berada di sana hingga keesokan harinya. Pagi-pagi beliau bersabda kepada para sahabat, “Semalam aku didatangi utusan dari Rabb-ku yang menyatakan, ‘Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini, dan katakan, ‘Umrah beserta haji.’”

BACA JUGA: Rasulullah Kembali ke Haribaan Ilahi (Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Sebelum shalat Zuhur, beliau mandi untuk niat ihram. Kemudian, Aisyah memercikkan minyak wangi ke tubuh dan kepala beliau hingga tetesan minyak wangi itu terlihat meleleh di rambut dan jenggot beliau. Tetesan minyak wangi itu dibiarkan begitu saja dan tidak dibasuhnya. Setelah itu, beliau mengenakan mantel dan selendang. Shalat Zuhur dilakukan dua rakaat, kemudian membaca talbiyah untuk haji dan umrah di tempat shalat itu. Beliau membaca secara berurutan antara keduanya, lalu beranjak dengan menunggang Al-Qashwa’.

Beliau meneruskan perjalanan hingga mendekati Mekkah. Beliau singgah sementara waktu di Dzu Thuwa’, kemudian memasuki Mekkah setelah mendirikan shalat Subuh dan mandi pada pagi hari Senin, 4 Dzulhijjah 10 H. Perjalanan ditempuh selama delapan hari, yang berarti dengan kecepatan sedang-sedang saja. Setelah memasuki Masjidil Haram, beliau langsung thawaf mengelilingi Ka’bah, lalu disusul dengan sa’i antara Shafa dan Marwah tanpa ber-tahallul sebab beliau berniat melaksanakan haji qiran. Kemudian, beliau menetap di bukit Mekkah di Al-Hujun dan tidak lagi melakukan thawaf kecuali thawaf untuk haji.

Bagi sahabat yang tidak mempunyai hewan kurban diperintahkan agar menjadikan ihram-nya sebagai umrah, lalu mereka thawaf mengelilingi Ka’bah dan disusul dengan sa’i antara Shafa dan Marwah, lalu ber-tahallul secara sempurna. Tampaknya mereka masih ragu-ragu untuk melaksanakannya, tetapi akhirnya mereka menuruti dan melaksanakannya.

Pada tanggal 8 Dzulhijjah, atau tepatnya hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina dan shalat Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh di sana. Setelah menunggu beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah dan tenda-tenda sudah didirikan di sana. Beliau masuk tenda yang telah disiapkan bagi beliau. Setelah matahari tergelincir, beliau meminta agar Al-Qashwa’ didekatkan, lalu beliau menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana sudah berkumpul sekitar 124 ribu atau 144 ribu orang Muslim.

Beliau berdiri di hadapan mereka menyampaikan pidato secara umum, “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataankul Aku tidak tahu pasti, mungkin saja aku tidak akan bisa bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci atas kalian seperti kesucian hari ini, pada bulan ini. dan di negeri kalian ini. Ketahuilah, segala sesuatu dari urusan jahiliyah sudah tidak berlaku di bawah telapak kakiku. Darah jahiliyah tidak berlaku dan darah pertama dari darah kita yang kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi’ah bin Al-Harits. Riba jahiliyah tidak berlaku dan riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib. Semua itu tidak berlaku.

Bertakwalah kepada Allah dan masalah wanita karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mendapatkan hak atas mereka, bahwa mereka tidak boleh mendatangkan seorang pun yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Jika mereka melakukan hal ini, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka mendapatkan hak atas kalian rezeki dan pakaian mereka dengan cara yang makruf. Aku telah meninggalkan di tengah kalian sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selama kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitab Allah.

Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku dan tidak ada umat lagi sesudah kalian. Ketahuilah, sembahlah Rabb kalian, dirikanlah shalat lima waktu kalian. Laksanakanlah puasa Ramadhan, bayarkanlah zakat harta kalian dengan suka rela, tunaikanlah haji di rumah Rabb kalian dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk surga Rabb kalian. Tentunya kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian katakan?”

Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, melaksanakan kewajiban dan memberi nasihat.” Lalu, beliau bersabda sambil mengacungkan jari telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada orang-orang, “Ya Allah, persaksikanlah!” Beliau mengucapkannya tiga kali.

Adapun yang berseru di hadapan orang-orang—yaitu di Arafah—menirukan sabda beliau ini adalah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf. Setelah Nabi menyampaikan pidato tersebut, Allah menurunkan

firman-Nya, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 3:

 اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ 

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu….” 

Umar bin Al-Khaththab yang mendengarnya tak kuasa menahan air matanya. Ada yang bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Sesungguhnya setelah kesempurnaan itu hanya ada kekurangan.”

BACA JUGA: Rasulullah Kembali ke Haribaan Ilahi (Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

Setelah pidato itu, Bilal melantunkan adzan dan disusul iqamah. Kemudian, Rasulullah mendirikan shalat Zuhur bersama orang-orang. Setelah Bilal melantunkan iqamah lagi, beliau melanjutkan dengan shalat Asar, dan tidak ada shalat antara keduanya. Kemudian beliau menunggang Al-Qashwa’ hingga tiba di tempat wukuf. Di sana, Al-Qashwa’ menderum hingga perutnya menempel di pasir. Beliau tetap berada di atas punggung Al-Qashwa’ hingga matahari terbenam. Remang senja lambat laun mulai menghilang. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah dengan memboncengkan Usamah. Beliau shalat Magrib dan Isya’ di sana, dengan satu adzan dan dua iqamah, tanpa ada shalat apa pun antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar menyingsing. Setelah adzan dan iqamah, beliau mendirikan shalat Subuh, lalu naik ke punggung Al-Qashwa’ dan pergi ke Al-Masy’ar Al-Haram. Dengan menghadap ke arah kiblat, beliau berdoa, bertakbir, bertahlil, dan mengesakan Allah.

Dari Muzdalifah beliau bertolak ke Mina sebelum matahari terbit, dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas, hingga tiba di Mahsar. Kemudian melewati jalan pertengahan yang menghubungkan ke Jamrah Kubra, yang ada di dekat sebuah pohon pada masa itu, yang disebut Jamrah Aqabah atau Jamrah Ula. Beliau melemparnya dengan tujuh batu kerikil, sambil bertakbir setiap kali lemparan. Kemudian, beliau beranjak ke tempat penyembelihan hewan kurban dan menyembelih 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, kemudian beliau menyerahkan kepada Ali bin Abu Thalib, yang menyembelih 37 ekor unta, hingga semuanya genap 100 ekor unta. Beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging dari masing-masing ekor unta, lalu dimasak dan beliau memakan daging serta meminum kuahnya.

Dengan menunggang Al-Qashwa’, beliau pergi menuju Ka’bah dan shalat Zuhur di Mekkah. Beliau menghampiri orang-orang dari Bani Abdul Muththalib yang sedang mengambil air dari sumur Zamzam. Beliau bersabda, “Biarkanlah orang-orang Bani Abdul Muththalib. Kalau tidak karena ada orang-orang yang akan merebut air minum kalian, tentu aku sudah bergabung bersama kalian.” Lalu, mereka menyodorkan setimba air, lalu beliau meminumnya.”

Pada hari penyembelihan atau 10 Dzulhijjah, tepatnya pada waktu Dhuha, Nabi menyampaikan pidato dari atas punggung keledai, yang ditirukan Ali dengan suara nyaring. Orang-orang ada yang berdiri dan ada pula yang duduk. Isi pidato kali ini banyak mengulang pidato yang beliau sampaikan sehari sebelumnya. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa dia berkata, “Nabi menyampaikan pidato kepada kami pada hari kurban. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya zaman itu berputar seperti bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab yang terletak antara dua Jumadil Akhir dan Sya’ban.

Beliau bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui, hari apakah ini?” Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau terdiam sejenak sehingga kami menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal). Beliau bersabda, ‘Bukankah sekarang ini hari Nahar?’ Kami menjawab, ‘Benar’. Beliau bertanya lagi, ‘Bulan apakah ini?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau terdiam sejenak lagi sehingga kami menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal). Beliau bersabda, ‘Bukankah ini bulan Dzulhijjah?’ Kami menjawab, ‘Benar’. Kemudian, beliau bertanya lagi, ‘Negeri apakah ini?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Sejenak beliau kembali terdiam sehingga sekali lagi kami pun menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal). Beliau bersabda, ‘Bukankah ini Negeri Haram? Kami menjawab, ‘Benar’.

BACA JUGA: Rasulullah Kembali ke Haribaan Ilahi (Bagian Ketiga – Habis)

Kemudian, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini hingga hari kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikannya?’ Mereka menjawab, “Ya, sudah’.

Kemudian, beliau melanjutkan, ‘Ya Allah, saksikanlah. Dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku, kalian saling memukul tengkuk kalian satu sama lain (saling membunuh). Maka, hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir karena banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti daripada orang yang mendengar.’” Dalam suatu riwayat disebutkan, beliau bersabda dalam pidato tersebut, “Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri, menganiaya anaknya, dan anak menganiaya bapaknya. Ketahuilah. sesungguhnya setan telah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian ini selama-lamanya, tetapi dia akan ditaati dalam kaitannya dengan amal-amal yang kalian remehkan, dan dia pun ridha kepadanya.”

Pada hari-hari tasyrik, beliau berada di Mina untuk melaksanakan manasik haji lainnya dan mengajarkan syariat, berzikir kepada Allah, menegakkan sunnah-sunnah petunjuk berdasarkan millah Ibrahim yang mengenyahkan tanda-tanda syirik dan pengaruhnya.

Pada sebagian hari Tasyrik itu beliau juga menyampaikan pidato. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan dari Sira’ binti Nabhan, dia berkata, “Rasulullah ﷺ menyampaikan pidato kepada kami pada hari Ru’us. Beliau bersabda, ‘Bukankah hari ini adalah pertengahan hari-hari Tasyrik?’” Pidato beliau pada hari ini sama dengan pidato beliau pada hari kurban. Pidato ini disampaikan setelah turunnya Surat An-Nashr (Surah ke-110).

Pada hari Nafar Kedua—13 Dzulhijjah—Nabi melakukan nafar dari Mina hingga tiba di kaki bukit perkampungan Bani Kinanah. Beliau berada di sana menghabiskan sisa hari itu dan malam harinya. Jadi, beliau shalat Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya di sana, lalu tidur barang sejenak. Kemudian, beliau kembali ke Ka’bah dan melakukan thawaf wada’. Beliau juga memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan thawaf. Setelah seluruh manasik haji dilaksanakan, beliau memerintahkan untuk kembali ke Madinah Munawwarah, tanpa mengambil waktu untuk istirahat, agar perjuangan ini terasa murni karena Allah dan di jalan-Nya.[]

SUMBER: SIRAH RASULULLAH: Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response