Historia/Tarikh

Mengirim Surat ke Beberapa Raja (Bagian Kedua)

Foto: Unsplash
32views

Pada akhir tahun 6 H., setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah ﷺ menulis surat yang ditujukan kepada beberapa raja yang berisi seruan agar mereka masuk kepada Islam. Saat hendak menulis surat-surat yang ditujukan kepada beberapa raja, ada seseorang yang memberi tahu, “Sesungguhnya mereka tidak akan mau menerima kecuali jika surat itu disertai cap stempel. Karena itu, beliau membuat stempel yang terbuat dari perak, dengan cetakan yang berbunyi, “Muhammad Rasul Allah”. Cetakan tulisan ini tersusun dalam tiga baris: “Muhammad” satu baris, “Rasul” satu baris dan “Allah” satu baris, dengan susunan yang dimulai dari bawah:

الله

رسول

محمد

Beliau menunjuk beberapa orang sahabat sebagai kurir yang cukup mempunyai pengetahuan dan pengalaman. Beliau mengutus para kurir ini untuk menemui beberapa raja. Allamah Al-Manshurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para kurir ini pada awal Muharam 7 H., beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar. Berikut ini uraian dan isi surat-surat tersebut:

Surat kepada Kisra, Raja Persia

Nabi ﷺ menulis surat kepada Kisra, Raja Persia sebagai berikut:

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Dari Muhammad Rasul Allah kepada Kisra, pemimpin Persia. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

BACA JUGA: Mengirim Surat ke Beberapa Raja (Bagian Pertama)

Aku menyeru Tuan dengan seruan Islam. Sesungguhnya aku adalah urusan Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan atas orang-orang kafir. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Namun, jika Tuan menolak, dosa orang-orang Majusi ada di pundak Tuan.”

Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi. Lalu, surat itu disampaikan kepada pemimpin Bahrain. Kita tidak tahu apakah pemimpin Bahrain itu mengutus anak buahnya untuk menyampaikan surat tersebut ataukah Abdullah sendiri yang menyampaikannya.

Siapa pun yang menyampaikan surat tersebut, yang pasti setelah membacanya, Kisra langsung mencabik-cabik surat itu. Dengan congkak dia berkata, “Seorang budak yang hina dari rakyatku pernah menulis namanya sebelum aku berkuasa.”

Setelah mendengar apa yang dilakukan Kisra, Nabi ﷺ bersabda, “Allah akan mencabik-cabik kerajaannya.” Kisra benar-benar akan mengalami seperti apa yang disabdakan beliau ini. Setelah itu, Kisra menulis surat kepada Badzan, gubernurnya di Yaman, yang isinya: “Utuslah dua orang yang gagah perkasa untuk menemui orang dari Hijaz ini. Setelah itu, hendaklah keduanya membawanya untuk menemuiku.”

Maka, Badzan menunjuk dua orang bawahannya sambil membawa surat yang disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, dan pulangnya disuruh langsung menemui Kisra.

Setelah dua utusan itu tiba di Madinah dan menghadap beliau, salah seorang di antara mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Syahan Syah (Raja Diraja) Kisra telah mengirim surat kepada Raja Badzan agar dia mengirim utusan untuk menemui Tuan, lalu membawa Tuan ke hadapannya.” Kata-katanya bernada ancaman. Nabi ﷺ menyuruh agar keduanya menemui beliau lagi esok harinya.

Pada saat yang sama di Persia terjadi pemberontakan besar-besaran terhadap Kisra, yang justru berasal dari lingkup keluarganya sendiri. Padahal, sebelumnya mereka juga banyak mengalami kekalahan cukup telak dari pasukan Qaishar. Pemberontakan ini dimotori oleh putra Kisra sendiri, Syiruyah. Dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kerajaannya. Hal ini terjadi pada malam Selasa, 10 Jumadil Ula 7 H. Rasulullah ﷺ mengetahuinya lewat pemberitaan wahyu.

BACA JUGA: Mengenal Perjanjian Hudaibiyah

Pada esok harinya beliau memberitahukan pemberontakan yang terjadi terhadap Kisra kepada dua utusan Badzan. Keduanya bertanya, “Apakah Tuan betul-betul yakin dengan apa yang Tuan katakan ini? Sebenarnya kami tidak seberapa membenci Tuan. Maka, apakah kami harus mencatat apa yang Tuan katakan ini dan menyampaikannya kepada raja (Badzan)?”

Beliau bersabda, “Benar. Sampaikan hal ini kepadanya. Sampaikan pula pesanku kepadanya bahwa agama dan kekuasaanku akan merambah seperti yang dicapai Kisra, menguasai yang kaya maupun yang miskin. Sampaikan pula kepadanya, ‘Apabila Tuan mau masuk Islam, kuberikan apa yang menjadi milik Tuan dan mengangkat Tuan sebagai pemimpin bagi kaum Tuan.'”

Maka, kedua utusan itu segera kembali dan menemui Badzan serta menyampaikan pesan beliau. Tak seberapa lama kemudian datang pula surat tentang terbunuhnya Kisra di tangan putranya sendiri, Syiruyah. Dalam surat itu Syiruyah menyebutkan: “Awasilah orang yang sudah dikirimi surat oleh ayahku itu dan janganlah engkau menyerangnya sebelum ada perintah dariku. “Inilah yang mendorong Badzan untuk masuk Islam beserta rakyatnya di Yaman.”

Surat kepada Qaishar, Raja Romawi

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang panjang, yang di dalamnya terdapat teks surat yang ditulis Nabi ﷺ kepada Kaisar Romawi, Heraklius. Inilah surat tersebut:

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Tuan dua kali lipat. Namun, bila Tuan berpaling, maka Tuan akan menanggung dosa rakyat Arisiyin.

“Katakanlah, ‘Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim.’” (QS. Ali Imran [3]: 64).

Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Dihyah bin Khalifah Al- Kalbi. Beliau memerintahkan agar surat tersebut disampaikan kepada pemimpin Bashrah terlebih dahulu agar dia menyampaikannya kepada Qaishar.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan bin Harb pernah memberitahunya tentang surat Heraklius yang dikirimkan kepadanya saat dia dan kafilah dagang Quraisy sedang berada di Syam. Abu Sufyan dan rombongannya mendatangi Heraklius yang saat itu berada di Baitul Maqdis. Heraklius mengundang Abu Sufyan untuk ikut ke pertemuannya yang juga dihadiri pada pembesar Romawi. Setelah Heraklius memanggil penerjemahnya, dia bertanya, “Siapakah di antara kalian yang ikatan darahnya paling dekat dengan orang yang mengaku sebagai nabi itu?”

“Akulah orang yang paling dekat hubungan darahnya dengan dia,” jawab Abu Sufyan.

“Mendekatlah kemari!” pinta Heraklius.

Rekan-rekannya menyuruh Abu Sufyan untuk maju. Maka, dia pun maju dan berada di tempat paling depan. Kemudian Heraklius berkata kepada para penerjemahnya, “Aku akan bertanya tentang orang tersebut (Rasulullah) kepada orang ini. Jika dia berbohong, berarti dia juga berbohong.”

Abu Sufyan berkata sendiri, “Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu jika mereka lebih banyak membohongiku, tentu aku akan berkata bohong kepadanya.” Kemudian dia menuturkan, “Pertanyaan pertama yang diajukan kepadaku adalah, ‘Bagaimana nasabnya di tengah kalian?”

“Dia orang yang terpandang di antara kami,” jawabku.

“Apakah pernah ada seseorang sebelumnya yang berkata seperti yang dia katakan?”

“Tidak ada.”

“Apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja?”

“Tidak ada.”

“Apakah yang mengikutinya dari kalangan orang-orang yang terpandang ataukah orang-orang lemah?”

“Orang-orang yang lemah di antara mereka.”

BACA JUGA: Perjanjian Hudaibiyah: Hikmah-Hikmah Penting yang Dapat Dipetik

“Apakah jumlah mereka semakin hari semakin bertambah ataukah semakin berkurang?”

“Semakin bertambah.”

“Adakah di antara pengikutnya ada yang keluar dari agamanya karena benci kepada agama itu setelah dia memasukinya?”

“Tidak ada.”

“Apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya? ”

“Tidak.”

“Apakah dia pernah berkhianat?”

“Tidak pernah. Selama kami bergaul dengannya, kami tidak pernah melihatnya melakukan hal itu.”

“Tidak ada lagi kata-kata lain yang memungkinkan bagiku untuk mengorek keterangan.”

Tetapi, kemudian Heraklius bertanya lagi, “Apakah kalian memeranginya?” “Ya,” jawabku. “Bagaimana cara kalian memeranginya?”

“Peperangan antara kami dan dia silih berganti. Kadang kami menang dan kadang dia yang menang.”

“Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”

“Dia berkata, ‘Sembahlah Allah semata, janganlah menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, tinggalkan apa yang dikatakan bapak-bapak kalian. Dia juga menyuruh kami mendirikan shalat, bersedekah, menjaga kehormatan diri, dan menjalin hubungan persaudaraan.”

Lalu, Heraklius berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya (Abu Sufyan), ‘Aku sudah menanyakan kepadamu tentang nasabnya, lalu engkau katakan bahwa dia adalah orang yang terpandang di antara kalian. Memang begitulah para rasul yang diutus di suatu nasab dari kaumnya. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah pernah ada seseorang di antara kalian sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya? lalu engkau mengatakan, tidak ada.”

Aku berkata sendiri, “Andaikan ada seseorang yang berkata seperti itu sebelumnya, tentu akan kukatakan bahwa memang ada seseorang yang mengikuti perkataan yang pernah disampaikan sebelumnya.” Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja? Engkau katakan, tidak ada.” Aku berkata sendiri, “Kalau pun di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja, tentu akan kukatakan, “Memang di sana ada orang yang sebenarnya mencari-cari kerajaan bapaknya’.” Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu. Apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya? Engkau jawab, tidak. Memang aku tahu tidak mungkin dia berdusta terhadap manusia dan terhadap Allah. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah yang mengikutinya diri kalangan orang-orang yang terpandang ataukah orang-orang yang lemah? Engkau katakan, orang-orang lemahlah yang mengikutinya. Memang begitulah pengikut para rasul. Aku sudah menanyakan kepadamu, adakah seseorang yang murtad dari agamanya karena benci terhadap agamanya itu setelah dia memasukinya? Engkau katakan, tidak ada. Memang begitulah jika iman sudah meresap ke dalam hati.

Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah dia pernah berkhianat? Engkau katakan, tidak pernah. Memang begitulah para rasul yang tidak pernah berkhianat. Aku sudah menanyakan kepadamu, apa yang dia perintahkan? Engkau katakan, bahwa dia menyuruh kalian untuk menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, melarang kalian menyembah berhala, menyuruh kalian mendirikan shalat, bersedekah, jujur, dan menjaga kehormatan diri.

Jika yang engkau katakan ini benar, maka dia akan menguasai tempat kedua kakiku berpijak saat ini. Jauh-jauh sebelumnya aku sudah menyadari bahwa orang seperti dia akan muncul, dan aku tidak menduga bahwa dia berasal dari tengah kalian. Andaikan aku bisa bebas bertemu dengannya, aku lebih memilih bertemu dengannya. Andaikan aku berada di hadapannya, tentu akan kubasuh kedua telapak kakinya.”

Setelah itu Heraklius meminta surat Rasulullah ﷺ dan membacanya. Setelah selesai terdengar suara gaduh dan riuh di sana-sini. Heraklius memerintahkan agar kami dibawa keluar dari tempat pertemuan itu. Aku berkata kepada para bawahannya yang membawa kami keluar, “Kekuasaannya saat ini tak beda jauh dengan kekuasaan Ibnu Abu Kabsyah, yang ketakutan terhadap kekuasaan Raja Bani Al-Ashfar.”

Sejak saat itu, aku selalu merasa yakin akan kemenangan Nabi ﷺ hingga akhirnya Allah menunjukiku untuk memeluk Islam.

BACA JUGA: Perjanjian Hudaibiyah: Pengukuhan Butir-Butir Perjanjian dan Kasus Abu Jandal  

Begitulah pengaruh surat beliau terhadap diri Qaishar yang bisa ditangkap Abu Sufyan. Karena pengaruh ini pula akhirnya Abu Sufyan memberikan sejumlah harta benda dan pakaian terhadap Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, pembawa surat beliau. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan segolongan orang dari Judzam, yang kemudian merampoknya dan sama sekali tidak menyisakan harta yang dibawanya. Saat Rasulullah ﷺ hendak masuk rumah, Dihyah tiba dan langsung mengabarkan kepada beliau apa yang menimpa dirinya. Beliau mengutus Zaid bin Haritsah bersama lima ratus orang untuk pergi menuju Judzam di belakang Wadil Qura. Zaid melancarkan serangan gencar ke Judzam dan bertempur hebat, hingga akhirnya dia memperoleh kemenangan.

Dia mendapatkan rampasan cukup banyak, berupa seribu ekor unta, lima ribu ekor domba, seratus tawanan wanita dan anak-anak. Sebelumnya sudah ada perjanjian antara Judzam dan Rasulullah ﷺ. Karena itu, salah seorang pemimpin kabilah ini segera mendatangi beliau dan mengajukan beberapa alasan tentang peristiwa itu. Sebenarnya dia dan beberapa orang sudah berusaha untuk membantu Dihyah tatkala dirampok karena memang sebelum itu mereka sudah masuk Islam. Beliau menerima alasan ini dan mengembalikan seluruh harta rampasan dan tawanan.

Mayoritas penulis kisah peperangan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum perjanjian Hudaibiyah. Ini jelas salah. Sebab, pengiriman surat kepada Qaishar terjadi sesudah perjanjian Hudaibiyah. Ibnul Qayyim berkomentar, “Tidak diragukan bahwa peristiwa ini terjadi sesudah perjanjian Hudaibiyah.”[]

SUMBER: SIRAH RASULULLAH: Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri, Penerbit: Ummul Qura

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response