Historia/Tarikh

Perjanjian Hudaibiyah: Hikmah-Hikmah Penting yang Dapat Dipetik

47views

Dalam tulisan sebelum ini telah dikisahkan bahwa pada akhirnya kaum Quraisy, yang diwakili oleh Suhail bin Amru, bersedia menyepakati perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Meskipun pada prosesnya terjadi negosiasi yang alot, terutama karena Suhail yang menyela beberapa pilihan kata yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ yang kemudian ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, perjanjian disepakati. Meskipun demikian, tanda-tanda kaum Quraisy akan melanggar perjanjian mulai terlihat dengan sikap Suhail terhadap Abu Jandal bin Suhail, anaknya, yang memutuskan masuk Islam.

Menyembelih Hewan Kurban dan Mencukur Rambut sebagai Tanda Umrah

Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan penulisan isi perjanjian, beliau bersabda, “Bangkitlah dan sembelihlah hewan kurban!” Demi Allah, tak seorang pun di antara kaum Muslimin yang bangkit untuk melaksanakan perintah ini sekalipun beliau sudah mengatakan tiga kali. Karena tidak ada seorang sahabat pun yang bangkit, beliau menemui Ummu Salamah. Beliau mengadukan kepadanya apa yang dilakukan para sahabat. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin perintah itu dilaksanakan? Keluarlah dan engkau tak perlu mengucapkan sepatah kata pun kepada seseorang sebelum engkau menyembelih unta korban dan meminta seorang pencukur untuk mencukur rambutmu.”

BACA JUGA: Perjanjian Hudaibiyah: Pengukuhan Butir-Butir Perjanjian dan Kasus Abu Jandal  

Atas saran Ummu Salamah inilah beliau keluar lagi. Tanpa berbicara kepada seorang pun, beliau langsung melaksanakan saran tersebut. Beliau menyembelih hewan kurban dan memanggil tukang cukur agar mencukur rambut beliau. Saat para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ mereka pun bangkit lalu menyembelih hewan kurban dan sebagian mencukur rambut sebagian yang lain sehingga hampir saja mereka saling bertengkar karena rambut. Satu ekor unta untuk tujuh orang, begitu pula sapi. Rasulullah ﷺ menyembelih unta yang dulunya milik Abu Jahal, yang di hidung unta itu ada cincin perak, dengan tujuan untuk memancing kejengkelan orang-orang musyrik. Beliau memohonkan ampunan sebanyak tiga kali untuk para sahabat yang menggundul rambutnya, sedangkan untuk para sahabat yang hanya memendekkan rambutnya, beliau memohonkan ampunan satu kali saja bagi mereka.

Rasulullah Menolak Mengembalikan Para Wanita Mukminah yang Hijrah

Saat itu beberapa wanita Mukminah datang menemui beliau. Para wali wanita-wanita tersebut meminta untuk mengembalikan mereka kepada Quraisy sesuai dengan isi perjanjian yang sudah dikukuhkan di Hudaibiyah. Namun, beliau menolak permintaan ini karena kalimat yang tertulis dalam perjanjian sama sekali tidak menunjukkan bahwa wanita juga termasuk dalam perjanjian itu. Berkaitan dengan persoalan ini, Allah menurunkan ayat-ayat-Nya sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Mumtahanah (60) ayat 10:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir). Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Nabi ﷺ menguji para wanita itu berdasarkan perintah dari Allah yang tercantum dalam Surah Al-Mumtahanah (60) ayat 12:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, terimalah baiat mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Siapa yang menerima syarat-syarat ini, maka beliau bersabda kepadanya, “Aku telah membaiatmu”. Setelah itu, beliau tidak mengembalikan mereka kepada pihak Quraisy. Dengan hukum dalam ayat-ayat dalam surat tersebut, orang-orang Muslim menceraikan istri-istri mereka yang kafir. Saat itu juga Umar bin Al-Khaththab menceraikan dua istrinya yang kafir. Selanjutnya, salah seorang di antara keduanya diperistri oleh Muawiyah, sedangkan satunya lagi diperistri oleh Shafwan bin Umayyah.

BACA JUGA: Perjanjian Hudaibiyah: Allah Menahan Tangan Quraisy dan Pengiriman Utsman Sebagai Utusan

Apa yang Bisa Dipetik dari Butir-Butir Perjanjian Hudaibiyah?

Itulah gencatan senjata yang dikukuhkan di Hudaibiyah. Bila dicermati butir-butir yang tertuang dalam perjanjian tersebut, memang harus diakui ada sisi kelemahannya. Namun, tidak dapat diragukan bahwa langkah itu merupakan kemenangan yang amat besar bagi kaum Muslimin. Sebab, sudah sekian lama pihak Quraisy tidak mau mengakui sedikit pun keberadaan kaum Muslimin, dan bahkan mereka hendak memberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka menunggu-nunggu babak akhir dari perjalanan kaum Muslimin. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mereka mencoba memasang penghalang antara dakwah Islam dan manusia, sambil membual bahwa merekalah yang layak memegang kepemimpinan agama dan roda kehidupan di seluruh Jazirah Arab. Meskipun hanya pengukuhan perjanjian, ini sudah bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap kekuatan kaum Muslimin, di samping orang-orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi menghadapi mereka.

Butir ketiga dari perjanjian tersebut menunjukkan bahwa pihak Quraisy lupa terhadap kedudukannya sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan kepemimpinan agama. Mereka tidak lagi memedulikan hal ini. Yang mereka pikirkan kini adalah keselamatan diri mereka sendiri. Kalau pun semua manusia dan orang-orang selain Arab mau masuk Islam, mereka tidak lagi memedulikannya dan tidak akan ikut campur dalam bentuk apa pun. Bukankah sebenarnya hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi pihak Quraisy, dan sebaliknya merupakan kemenangan yang nyata bagi pihak kaum Muslimin? Peperangan secara terus-menerus yang melibatkan kaum Muslimin dan musuh-musuhnya, sama sekali tidak dimaksudkan kaum Muslimin untuk mendapatkan harta benda, merenggut nyawa, membinasakan manusia maupun memaksa manusia agar memeluk Islam. Satu-satunya tujuan yang hendak mereka gapai dari berbagai peperangan itu ialah ingin menciptakan kebebasan yang utuh bagi manusia dalam masalah akidah dân agama. Allah berfirman dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 29:

فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ 

Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.”

Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi maksud mereka. Bagian-bagian dari tujuan ini atau sinyal-sinyalnya telah berada di tangan. Tujuan ini mungkin saja tidak akan tercapai sekalipun dengan kemenangan yang besar dalam peperangan. Dengan adanya kebebasan ini, kaum Muslimin bisa menorehkan keberhasilan yang besar di bidang dakwah. Jumlah mereka yang tidak lebih dari tiga ribu orang sebelum gencatan senjata semakin bertambah banyak setelah adanya gencatan senjata ini. Selama dua tahun setelah itu, pasukan Islam telah bertambah menjadi sepuluh ribu prajurit, yaitu saat penaklukan Mekkah.

Butir kedua perjanjian itu juga merupakan kemenangan kedua yang besar bagi kaum Muslimin. Mereka bukan pihak yang mengawali peperangan, melainkan pihak Quraisy yang mengawalinya. Allah berfirman dalam Surah At-Taubah (9) ayat 13:

وَهُم بَدَءُ وَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ

“Dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu”

Semua aktivitas militer yang dilakukan kaum Muslimin dimaksudkan hanya untuk mengantisipasi arogansi orang-orang Quraisy dan ulah mereka yang selalu menghalangi manusia dari jalan Allah atau membalas perlakuan buruk mereka. Tiap-tiap pihak mengambil tindakan dengan alasannya sendiri. Jadi, perjanjian gencatan senjata selama sepuluh tahun yang akan membatasi arogansi dan penolakan ini, merupakan bukti kegagalan, kelemahan, dan kehancuran kaum Quraisy sejak awal perang.

Butir pertama perjanjian itu merupakan batas akhir bagi Quraisy yang selalu menghalangi seseorang untuk memasuki Masjidil Haram. Ini juga merupakan kegagalan bagi Quraisy. Butir ini hanya akan memberikan kesempatan bagi Quraisy untuk menghalangi manusia yang akan memasuki Masjidil Haram selama satu tahun saja.

BACA JUGA: Mengenal Perjanjian Hudaibiyah

Pihak Quraisy memberikan tiga celah ini kepada kaum Muslimin, Mereka hanya memiliki satu celah saja, yaitu butir keempat. Tetapi, celah ini pun sebenarnya tak banyak artinya. Di sini tidak ada sesuatu yang membahayakan kaum Muslimin. Sebagaimana diketahui, selama seseorang disebut orang Muslim, dia tentu tidak akan lari dari Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggalkan wilayah Islam, kecuali memang dia murtad secara lahir dan batin. Jika dia murtad, Islam dan kaum Muslimin sama sekali tidak membutuhkan dirinya. Bahkan, tindakannya yang memisahkan diri dari masyarakat Islam jauh lebih baik daripada dia berada di tengah mereka. Ini yang diisyaratkan Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau. “Sesungguhnya siapa pun di antara kita yang pergi bergabung dengan mereka, dia akan dijauhi Allah.”

Adapun penduduk Mekkah yang masuk Islam, kalau pun dia tidak bisa datang ke Madinah, bumi Allah itu amat luas. Bukankah Habasyah terbuka lebar bagi kaum Muslimin pada saat penduduk Madinah belum mengenal Islam sedikit pun? Hal itu juga diisyaratkan Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau, “Barang siapa di antara mereka hendak mendatangi kita, Allah akan memberikan jalan keluar bagi dirinya.”

Kesepakatan yang diambil Rasulullah ﷺ dalam perjanjian tersebut, sekalipun secara sepintas tampak merupakan keunggulan bagi Quraisy, sejatinya itu mencerminkan kegundahan, kegelisahan, dan ketakutan mereka terhadap eksistensi paganisme. Mereka merasa seolah-olah eksistensi mereka berada di pinggir jurang yang terjal. Maka, langkah inilah yang mereka ambil. Bila di antara kaum Muslimin ada yang lari ke pihak Quraisy, Nabi tidak akan memintanya agar dikembalikan. Ini merupakan bukti bahwa beliau benar-benar tegar dalam meneguhkan kekuatan dan sama sekali tidak risau dengan syarat yang tercantum dalam perjanjian tersebut.[]

SUMBER: SIRAH RASULULLAH: Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakafuri, Penerbit: Ummul Qura

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response