Tafsir

Penjelasan tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Foto: Unsplash
37views

Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 79:

كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ

Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Ini termasuk sebab mereka dilaknat. Mereka meninggalkan nahi mungkar. Mereka melakukan kemungkaran dan tidak saling mengingkari kemungkaran tersebut, termasuk para rahibnya yang menginginkan keuntungan duniawi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 44:

وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا

“… dan janganlah kalian menjual ayat-ayatku dengan harga yang sedikit…. ”

Para rahib tersebut khawatir dunia mereka terpusat terputus jika mereka melakukan nahi mungkar.

BACA JUGA: Jangan Jadikan Harta sebagai Puncak Cita-Cita

Tiga tingkatan amar makruf nahi mungkar:

Pertama: berdakwah, yaitu menyampaikan hal tentang yang ma’ruf dan haramnya kemungkaran, meskipun yang ma’ruf itu sedang dikerjakan atau kemungkaran belum terjadi. Ini termasuk dalam kategori pengajaran karena nahi mungkar tidak hanya untuk sesuatu yang ada di hadapan kita. Dalam hal ini, berdakwah lebih umum daripada amar ma’ruf nahi mungkar.

Kedua: amal ma’ruf nahi mungkar, yaitu apabila ada hal ma’ruf yang ditinggalkan, seperti orang yang malas shalat atau bersedekah, sehingga kita memotivasinya. Juga apabila ada kemungkaran yang dilakukan. Inilah perbedaan amar ma’ruf nahi mungkar dengan berdakwah. Karena dalam berdakwah, kita tetap menyampaikan keutamaan shalat meskipun terhadap orang-orang yang rajin shalat. Adapun amar ma’ruf nahi mungkar kita sampaikan ketika ada kemakrufan yang ditinggalkan atau kemungkaran yang terjadi.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi dan kapasitas.

Ketiga: mengubah kemungkaran, yaitu menghentikan kemungkaran yang sedang terjadi dengan fisik. Yang berhak melakukan ini adalah orang yang memiliki kekuasaan. Jika kemungkaran terjadi di rumah, maka yang berhak mengubah kemungkaran adalah kepala keluarga. Adapun jika berkaitan dengan kepentingan orang banyak dan masyarakat umum, maka yang berhak adalah pemerintah. Sekiranya mengubah kemungkaran dalam hal ini dilakukan oleh siapa saja tanpa aturan, maka justru menimbulkan kekacauan.

Bagaimana jika penguasa tidak mengubah kemungkaran tersebut? Itu pertanggungjawaban mereka dengan Allah. Kita harus mengenal ranah kewajiban masing-masing. Jika ada hal yang bukan ranah kita, maka janganlah memasukinya. Kita bisa memberi masukan kepada pemerintah. Namun, jika mereka tidak mau memenuhinya maka itu urusan mereka dengan Allah.

Persyaratan mengubah kemungkaran:

Pertama: Berilmu bahwa itu memang kemungkaran yaitu terhadap hal yang:

  1. disepakati akan kemungkarannya.
  2. Masih ada perselisihan tentangnya, tetapi perselisihan tersebut tidak muktabar. Misalnya, hukum musik. Memang masih ada perselisihan tentang itu, tetapi perselisihannya tidak muktabar sehingga bisa kita ingkari. Hanya saja, pengingkaran dimaksud adalah dengan menjelaskan dalil dan mengingatkan keharamannya. Tidak boleh bagi kita untuk mengingkarinya secara fisik karena itu adalah wewenang pemerintah.

Adapun dalam perkara-perkara yang merupakan ranah ijtihad di kalangan ulama, maka tidak boleh diingkari, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim.

Kedua. Kemungkaran tersebut memang benar-benar kemungkaran bagi pelakunya. Karena, bisa jadi ada kemungkaran yang relatif, yang bukan merupakan kemungkaran bagi kalangan tertentu. Contohnya, makan pada siang hari di bulan Ramadan merupakan kemungkaran bagi seorang Muslim yang Mukmin dan sehat, tetapi bagi musafir atau orang sakit maka itu bukanlah kemungkaran baginya.

BACA JUGA: Penjelasan tentang Perbuatan Buruk Kalangan Yahudi

Ketiga. Tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, yaitu jangan sampai melarang sesuatu kemungkaran justru malah memunculkan kerusakan yang lebih besar. Ini membutuhkan pemahaman dan kejelian. Kita perlu memerhatikan situasi dan kondisi. Betapa banyak orang yang mencegah kemungkaran tapi justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Hal ini juga bisa menyebabkan orang-orang semakin jauh dari sunnah. Karena itu, yang mampu melakukan ini adalah orang yang memiliki fikih dan amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak semua orang mampu melakukannya.

Keempat. Yang melakukan nahi mungkar seharusnya orang yang tidak melakukan kemungkaran tersebut. Bagaimana mungkin seseorang melarang orang lain dari berzina atau meminum khamar, sementara dirinya sendiri adalah pezina dan peminum khamar. Syarat keempat ini masih diperselisihkan oleh ulama. Pendapat yang tepat itu adalah bukan syarat, sebagaimana yang dikuatkan oleh Al-Qurthubi. Tindakan maksiat itu tercela tetapi dengan melarang orang lain dari melakukan maksiat yang sama maka bisa meminimumkan tersebarnya maksiar tersebut. Pelaku maksiat memang tercela, tapi meninggalkan kemaksiatan bukan syarat untuk menegur yang semisalnya. Oleh karena itu, Allah berfirman,

كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ

Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.

Kalimat yang mereka perbuat menunjukkan bahwa mereka tetap wajib untuk saling melarang dari kemungkaran. Mereka akan terlaknat apabila melakukan kemungkaran dan tidak saling melarangnya.

Al-Qurthubi mengisyaratkan bahwa عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗsaling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat” menunjukkan orang melarang dan dilarang sama-sama melakukan kemungkaran. Ketika mereka semua melakukan kemungkaran dan tidak saling mengingatkan maka mereka dilaknat. Walaupun dia melakukan kemaksiatan, dia tetap wajib untuk memperingatkan selainnya. Hal itu semoga bisa menjadi nasihat bagi dirinya sendiri agar nantinya ia bisa berhenti dari kemungkaran. Memang, orang yang melarang melakukan maksiat tetapi dia sendiri melakukannya, ia terkena ancaman yang berat.

Nabi bersabda, “Seseorang dihadirkan pada Hari Kiamat, lalu dia dilempar ke dalam neraka. Isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar menarik alat penggilingan . Penduduk neraka pun berkumpul mengelilinginya seraya berkata, “Wahai Fulan, apa yang terjadi denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat ma’ruf dan melarang kami berbuat mungkar?” Orang itu berkata, “Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Aku melarang kalian berbuat mungkar, tetapi aku malah mengerjakannya.”

BACA JUGA: Neraka Adalah Seburuk-Buruk Tempat Yang Didatangi

Demikianlah, tetapi jika dia melakukan kemaksiatan dan tidak melakukan nahi mungkar, maka dosa dan kemungkarannya bertumpuk. Karena, meninggalkan mencegah kemungkaran itu pun termasuk kemungkaran tersendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Qurthubi, “Enggan mencegah kemungkaran itu statusnya seperti halnya pelaku kemungkaran.”

Dengan demikian, seseorang berkewajiban untuk meninggalkan maksiat dan sekaligus menegur orang yang melakukan kemaksiatan.[]

SUMBER: TAFSIR AT-TAYSIR SURAH AL-MA’IDAH, Penulis: Ust. Firanda Andirja, Penerbit: Ustadz Firanda Andirja Office

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response