Kisah Al-Quran

Kisah-Kisah yang Terdapat dalam Surah Al-Kahfi (Bagian Kedua-Habis)

foto: Pixabay
39views

Di dalam bagian pertama, telah dituliskan kisah pertama dan kedua yang dikisahkan dalam Surah Al-Kahfi.

BACA JUGA: Kisah-Kisah yang Terdapat dalam Surah Al-Kahfi (Bagian Pertama)

Kisah Ketiga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khodir

Kisah ketiga ini adalah tentang fitnah ilmu. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi Saw bersabda, “Bahwa Musa sedang berdiri di hadapan Bani Israil memberikan khotbah, lalu dia ditanya, ‘Siapakah orang yang paling alim?’ Beliau menjawab, ‘Aku’. Seketika itu pula Allah menegurnya karena dia tidak mengembalikan ilmu kepada Allah (yaitu tidak berkata Allahu a’lam). Lalu, Allah mewahyukan kepadanya, ‘Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang tinggal di pertemuan antara dua lautan yang dia lebih alim (pandai) darimu.'”

Kisah ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Musa bermaksud untuk sombong, tapi dia menceritakan ilmu yang diketahuinya bahwa sepengetahuannya adalah dia yang paling alim. Maka kemudian, Allah menegur Nabi Musa ketika dia tidak mengatakan allahualam. Lalu, Allah menyuruh dia untuk pergi mencari hamba-Nya yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa, yaitu Nabi Khodir.

Dari kisah ini Allah menjelaskan tentang bagaimana Musa yang sudah mencapai derajat seorang nabi, tetapi tetap menuntut ilmu. Ilmu yang telah ia miliki tidaklah menjadikan beliau angkuh atau ujub. Akhirnya, dia pun berjalan dan bersafar jauh untuk menuntut ilmu di hadapan Nabi Khodir, dengan berbagai macam faedah dari kisah tersebut. Ini adalah kisah tentang fitnah ilmu bahwasanya ilmu bisa menimbulkan fitnah dan bisa membuat orang sombong dan angkuh.

Adapun Nabi Musa tidaklah sombong dan angkuh, tetapi dia hanya salah ucap. Buktinya ketika dia mengetahui ada yang lebih berilmu daripadanya maka dia dengan penuh kerendahan diri pergi untuk mencari ilmu. Karena seharusnya banyaknya ilmu membuat seseorang semakin rendah diri. Kita lihat Nabi Musa, seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan dia termasuk salah satu rasul dari Ulul Azmi dan para ulama sepakat bahwa dia lebih mulia daripada Nab Khodir, tetapi dia tetap belajar dari Nabi Khodir. Artinya, Nabi Khodir tidaklah lebih berilmu dibandingkan Nabi Musa, tetapi dia hanya memiliki ilmu yang Nabi Musa tidak ketahui. Oleh karenanya, disebutkan oleh As-Sakhawi dan ulama yang lainnya, “Sesungguhnya seseorang tidak akan mulia hingga dia mengambil ilmu dari orang yang berada di atasnya, semisalnya, dan yang berada di bawahnya.”

BACA JUGA: 11 Faedah Kisah Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khodir

 

Kisah Keempat: Kisah Dzulkarnain

Kisah Dzulkarnain adalah kisah tentang fitnah jabatan. Allah menyebutkan kisah seorang hamba yang mulia, bahkan seorang raja, tetapi jabatan dan kedudukannya menjadikan dia bertakwa kepada Allah, menjadikan dia sebagai seorang wali di antara wali-wali Allah. Tidak sebagaimana kebanyakan orang, tatkala mendapat jabatan dan kekuasaan, ternyata jabatan dan kekuasaan itu membuat mereka menjadi angkuh, sombong, dan lupa diri. Maka, kisah Dzulkarnain ini Allah jadikan contoh tentang seorang hamba Allah, yang mulia yang mendapat kedudukan dan menjadikan dia bertakwa kepada Allah, dia menggunakan kedudukan tersebut untuk kebaikan dan ketakwaan. Kisah Dzulkarnain adalah contoh seorang yang lulus menghadapi fitnah jabatan karena jabatannya tidak menjadikannya angkuh ataupun sombong. Bahkan, dia menggunakan jabatannya tersebut untuk memperbanyak amal salehnya dengan cara memperjuangkan agama Allah.

Allah berfirman dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 83:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِۗ قُلْ سَاَتْلُوْا عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا ۗ

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah, “Akan kubacakan kepadamu sebagian dari kisahnya”.

Sebagaimana telah berlalu bahwasanya disebutkan oleh para ahli tafsir, asbabun nuzul (sebab turun) ayat tersebut adalah berkaitan dengan orang-orang Quraisy Mekkah yang kebingungan menghadapi dakwah Nabi ﷺ. Maka, mereka pun berangkat dari Mekkah menuju ke Kota Madinah untuk bertemu dengan orang-orang Yahudi dan menanyakan tentang bagaimana ajaran Nabi Muhammad ﷺ karena orang-orang Yahudi memiliki ilmu tentang Ketuhanan. Tatkala mereka telah bertanya kepada orang-orang Yahudi, orang-orang Yahudi tersebut berkata, “Tanyakanlah oleh kalian kepada dia tentang tiga perkara yang akan kami terangkan ini. Jika dia dapat menjawabnya, berarti dia benar-benar seorang nabi yang diutus. Namun, jika dia tidak dapat menjawabnya, berarti dia adalah seseorang yang mengaku-ngaku dirinya menjadi nabi, saat itulah kalian dapat memilih pendapat sendiri terhadapnya.

Tanyakanlah kepadanya tentang beberapa orang pemuda yang pergi meninggalkan kaumnya di masa silam apakah yang dialami oleh mereka? Karena sesungguhnya kisah mereka sangat menakjubkan. Dan tanyakanlah kepadanya tentang seorang lelaki yang melanglang buana sampai ke belahan timur dan barat bumi, bagaimanakah kisahnya? Dan tanyakanlah kepadanya tentang ruh, apakah ruh itu? Jika dia menceritakannya kepada kalian berarti dia adalah seorang nabi dan kalian harus mengikutinya. Akan tetapi, jika dia tidak menceritakannya kepada kalian, sesungguhnya dia adalah seseorang lelaki yang mengaku-aku saja. Bila demikian, terserah kalian apa yang harus kalian lakukan terhadapnya.”

Di antara teka-teki dari orang Yahudi kepada Nabi ﷺ, adalah Nabi menjawab, “Siapa orang yang melanggang buana dari timur bumi hingga barat?” Asalnya ini adalah pertanyaan yang sulit karena pertanyaannya sendiri tidak jelas dan tidak menggambarkan ciri-ciri yang lebih spesifik. Akhirnya, Nabi ﷺ ditanya oleh orang-orang musyrikin tersebut, tetapi Nabi ﷺ tidak dapat menjawabnya karena wahyu tidak langsung turun. Disebutkan dalam riwayat bahwa wahyu baru turun sekitar dua pekan atau lebih, yaitu Surah Al-Kahfi yang menjelaskan bahwa orang tersebut adalah Dzulkarnain.

BACA JUGA: Ketika Nabi Musa Berniat untuk Menuntut Ilmu

Allah menyebutkan kisah Dzulkarnain setelah menyebutkan kisah perjalanan Nabi Musa menemui Nabi Khodir. Hal ini karena Nabi Musa melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, sementara Dzulkarnain berpetualang untuk berdakwah. Allah mendahulukan kisah Nabi Musa karena ilmu adalah fondasi atas segala sesuatu.

Firman Allah, “Katakanlah akan kubacakan kepadamu sebagian dari kisahnya“, yaitu kisah Dzulkarnain. Allah tidak menceritakan seluruh kisah tersebut, melainkan hanya sebagiannya. Hal ini disebabkan Al-Quran bukanlah buku sejarah, bukanlah juga buku sains, melainkan Al-Quran adalah kitab iman dan takwa. Memang benar bahwa dalam sebagian ayat ada yang berkaitan dengan sejarah, ada yang berkaitan dengan sains dan teknologi, tetapi Al-Quran diturunkan bukan untuk menjelaskan hal tersebut. Sejarah ataupun sains hanya sekadar rangkaian untuk meninggikan iman dan takwa.

Oleh karena itu, Allah hanya menyebutkan sebagian kisah Dzulkarnain yang bermanfaat bagi kita. Karena jika diceritakan seluruhnya secara terperinci, selain Al-Quran akan berubah menjadi kitab sejarah, juga perkara gaib akan menjadi hilang. Jika Allah menceritakan semuanya dengan sedetail-detailnya dan membongkar semua rahasia apa yang akan terjadi pada masa depan dan masa lalu, maka semua orang akan beriman kepada Al-Quran dan sifat orang yang beriman kepada perkara yang gaib akan hilang. Ini akan menghilangkan hikmah dari ujian terhadap perkara yang gaib. Bukankah kita diciptakan untuk diuji?

Allah tidak menceritakan tentang kapan lahirnya, atau kapan dia berkelana, karena hal itu tidak bermanfaat bagi kita. Maka, yang Allah ceritakan kepada Nabi ﷺ adalah kisah-kisah yang bermanfaat dan bisa menjadi pelajaran bagi kita. Sebagaimana di dalam Al-Quran, Allah hanya menceritakan sebagian potongan sejarah dari para nabi yang berkaitan dengan keimanan, seperti bagaimana mereka didustakan, dan bagaimana kesombongan kaum mereka yang akhirnya Allah mengirimkan azab kepada kaum nabi-nabi tersebut. Allah tidak menceritakan kisah para nabi secara keseluruhan.

Bahkan, betapa sering Allah menyebutkan kisah tanpa menyebutkan nama-nama pelaku kisah tersebut dan juga tidak menjelaskan dengan detail lokasi terjadinya. Demikian juga Allah tidak menceritakan sejarah seseorang secara lengkap karena yang gaib akan menjadi jelas sehingga tujuan “beriman dengan yang gaib” akan menjadi berkurang. Intinya, dengan hikmahnya, Allah menceritakan kisah orang-orang terdahulu sebatas yang diperlukan. Oleh karena itu, Allah berkata, “Katakanlah, ‘Akan kubacakan kepadamu sebagian dari kisahnya.‘”

Siapakah Dzulkarnain ini? Jika kita membaca dan menelaah perkataan para salaf maka kita temukan silang pendapat di kalangan mereka tentang siapa Dzulkarnain ini karena tidak ada dalil tegas yang menjelaskannya. Adapun beberapa pendapat dari para salaf adalah:

Pertama: ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi karena dalam sebagian ayat disebutkan ada wahyu dari Allah kepadanya sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Dzulkarnain adalah nabi.

Kedua: sebagian ulama berpendapat bahwa Dzulkarnain adalah malaikat yang Allah turunkan ke atas muka bumi dengan menjelma menjadi seorang manusia yang sangat hebat. Akan tetapi, Ibnu Katsir mengatakan bahwa pendapat ini jauh dari kebenaran.

Ketiga: pendapat lain adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Katsir, yaitu Dzulkarnain adalah seorang raja yang saleh dan bertakwa kepada Allah dan Allah memberikan kepadanya kekuasaan. Pendapat yang dipilih Ibnu Katsir ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, yang di dalamnya dia berkata, “Dia bukanlah seorang nabi, bukan malaikat, tetapi dia adalah seorang hamba yang saleh.”

Dan inilah pendapat yang lebih kuat, Dzulkarnain adalah seorang raja atau hamba yang saleh tetapi memiliki kekuasaan di atas muka bumi ini.

Adapun Nabi ﷺ bersabda, “Aku tidak tahu apakah Tubba’ terlaknat ataukah tidak, aku tidak tahu apakah Uzair seorang nabi atau bukan, aku tidak tahu apakah Dzulkarnain nabi atau bukan, dan aku tidak tahu apakah hukum-hukum hudud merupakan kaffarah (penggugur dosa) atau tidak”.

Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama mengatakan hanya Allah yang tahu siapa itu Dzulkarnain karena nabi saja tidak mengetahui apakah Dzulkarnain nabi atau bukan. Maka, kita lebih utama untuk tidak tahu. Namun, keshahihan hadis ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama, seperti Ibnu Katsir, dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah mendhaifkan atau melemahkan hadis ini. Kalaupun shahih, bisa jadi ada kemungkinan setelah itu Nabi ﷺ mendapat kabar tentang hakikat Dzulkarnain. Karena dalam hadis ini, Nabi juga tidak tahu akan hakikat penegakan hukum had apakah menjadi kaffarah atau tidak. Namun, disebutkan dalam hadis-hadis yang lain Nabi ﷺ menjelaskan dengan tegas bahwa penegakan hukum had adalah kaffarah. Ini sama seperti Nabi ﷺ yang bertemu dengan Ibnu Ash-Shayyad, apakah dia Dajjal atau bukan, lalu beliau mengabarkan bahwa Dajjal akan muncul di kemudian hari menjelang Hari Kiamat.

BACA JUGA: Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran

Para ulama menyebutkan bahwasanya orang yang memiliki kekuasaan yang sangat luas di atas muka bumi ini ada empat orang: dua orang kafir dan dua orang beriman. Orang kafir tersebut adalah Namrudz dan Bukhtanashshar yang berasal dari Babilonia (yaitu dari Irak). Adapun yang beriman adalah Nabi Sulaiman dan Dzulkarnain.

Kemudian, kapan zaman Dzulkarnain tersebut? Tidak ada riwayat shahih yang menjelaskan tentang kapan zaman Dzulkarnain, tetapi dijelaskan dalam sebagian perkataan para salaf bahwasanya dia hidup pada zaman Nabi Ibrahim. Wallahu’alam bishawab.[]

SUMBER: TAFSIR AT TAYSIR SURAH AL-KAHFI, karya Ust. Firanda Andirja, Penerbit Ustadz Firanda Andirja Office

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response