Kisah Al-Quran

Permasalahan terkait Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khodir (Bagian Pertama)

foto: Pixabay
43views

Pertama: Sebab Penyebutan Nabi Khodir

Al-Hafidz Ibnu Hajar memiliki kitab berjudul Az-Zahra An-Nadhir Fii Akhbaaril Khodir yang khusus membahas tentang Nabi Khodir, meskipun pada kitab-kitabnya yang lain seperti Al-Ishabah Fii Tamyiz Ash-Shahabah dan Fathul Bari juga dibahas tentang Nabi Khodir.

Al-Khodir secara bahasa artinya hijau. Nabi Khodir disebut Khodir karena dikisahkan beliau pernah duduk di suatu tempat yang tandus kemudian keluar tumbuhan berwarna hijau. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah, “Khodir pernah duduk pada tanah tandus, maka bergetarlah tanah tersebut dan muncul tumbuhan hijau dari bawahnya”.

Kedua: Khodir adalah seorang Nabi, bukan sekadar Wali

Terdapat tiga pendapat tentang status Khodir:

  1. Khodir adalah seorang nabi. Ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Bahkan, Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis buku khusus tentang Nabi Khodir dan beliau mengatakan bahwasanya Khodir adalah nabi. Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Asy-Syinqithi.
  2. Khodir adalah seorang Wali. Ibnu Hajar berkata, “Sekelompok Sufiah berpendapat bahwa Khodir adalah Wali. Ini adalah pendapat Abu Ali bin Abi Musa dari Hanabilah, Abu Bakar bin Al-Anbari, dan Abul Qosim Al-Qusyairi”. Ini juga pendapat Al-Qurthubi.
  3. Khodir adalah seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia. Akan tetapi, pendapat yang ketiga ini merupakan pendapat yang batil. Imam An-Nawawi mengomentari tentang pendapat ketiga ini dengan berkata, “Ini pendapat yang aneh dan batil”.

Pendapat yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, yakni bahwa Khodir adalah seorang Nabi. Adapun dalil tentang hal ini adalah:

BACA JUGA: Ketika Nabi Musa Berniat untuk Menuntut Ilmu

Pertama, Khodir diberi wahyu oleh Allah. Allah berfirman tentang perkataan Khodir yang tercantum dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 82:

وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ

… dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri….

Ibnu Hajar berkata, “Ini tampak bahwa itu dengan perintah Allah, dan secara asal hal itu tanpa perantara (antara Allah dengan Al-Khodir) dan ada kemungkinan dengan perantara nabi yang lain yang tidak ia (Al-Khodir) sebutkan. Akan tetapi, pendapat ini yang jauh.”

Demikian juga Allah berfirman dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 65:

وَعَلَّمْنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًۭا

… Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Ini adalah sifat para nabi, yaitu mereka mendapatkan ilmu tanpa harus belajar terlebih dahulu. Adapun kita, maka agar mendapatkan ilmu kita harus belajar dahulu. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya ilmu hanya didapat dengan belajar.”

Hal ini juga sebagaimana perkataan Nabi Khodir kepada Nabi Musa sewaktu bertemu, “Sesungguhnya kamu mendapatkan sebagian ilmu Allah yang diajarkan-Nya kepadamu yang tidak aku ketahui dan aku mendapatkan sebagian ilmu Allah yang diajarkan-Nya kepadaku yang kamu tidak ketahui.” Perkataan tersebut menunjukkan kepada Nabi Musa bahwa mereka sama-sama seorang nabi.

Kedua, Allah memberikan rahmat dan ilmu kepada Al-Khodir. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 65:

فَوَجَدَا عَبْدًۭا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَـٰهُ رَحْمَةًۭ مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًۭا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

BACA JUGA: Hikmah Pengulangan Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran, sering dijumpai penyebutan rahmat dan ilmu yang maksudnya adalah kenabian. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surah Az-Zukhruf ayat 31-32:

وَقَالُوا۟ لَوْلَا نُزِّلَ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانُ عَلَىٰ رَجُلٍۢ مِّنَ ٱلْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ ٣١ أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍۢ دَرَجَـٰتٍۢ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًۭا سُخْرِيًّۭا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ ٣٢

Dan mereka berkata, “Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekkah dan Thaif) ini?” (31) Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atau sebagian yang lain berupa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhan lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.(32)

Rahmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kenabian. Kemudian Allah juga menamakan kenabian dengan ilmu, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surah An-Nisa (4) ayat 113:

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُۥ لَهَمَّت طَّآئِفَةٌۭ مِّنْهُمْ أَن يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِن شَىْءٍۢ ۚ وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًۭا

Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi, mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Allah juga berfirman dalam Surah Yusuf (12) ayat 68:

وَلَمَّا دَخَلُوا۟ مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُم مَّا كَانَ يُغْنِى عَنْهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن شَىْءٍ إِلَّا حَاجَةًۭ فِى نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَىٰهَا ۚ وَإِنَّهُۥ لَذُو عِلْمٍۢ لِّمَا عَلَّمْنَـٰهُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikit pun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Yakub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai ilmu yang kami ajarkan kepadanya. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Jadi, rahmat dan ilmu terkadang maksudnya adalah kenabian. Kedua hal ini terkumpul dalam diri Khodir. Sebagaimana kita ketahui bahwa para nabi sebelumnya tidak pernah belajar. Ilmu yang mereka miliki seluruhnya diajarkan oleh Allah. Oleh karena itu, para sufi beranggapan bahwa Khodir sebagai wali bisa mendapatkan semacam itu (memiliki ilmu tanpa belajar) sehingga kita kenal mereka menyebutkan hal seperti ini dengan ilmu ladunni. Padahal, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya ilmu itu diraih hanya dengan belajar”.

Dengan demikian, kita dapati para sahabat dan para ulama bersafar untuk belajar dan mencari hadis Nabi ﷺ. Maka, pendapat para sufi yang mengatakan bahwa para wali (dalam hal ini adalah Nabi Khodir) bisa mendapatkan ilmu tanpa berusaha (sebagaimana para Nabi) adalah pendapat batil.

Ketiga: dalil lain yang menunjukkan bahwa Khodir merupakan seorang nabi adalah Allah menjadikan Khodir mengetahui ilmu gaib. Dan ini menjadi dalil yang paling kuat. Yaitu, tatkala beliau membunuh anak dengan alasan bahwa anak ini jika tumbuh dewasa, kelak akan menjerumuskan kedua orang tuanya ke dalam kekufuran. Kemudian, beliau juga menghancurkan kapal karena jika dibiarkan dalam keadaan baik, akan datang seorang raja merampas kapal tersebut. Ini semua adalah hal-hal gaib. Sementara Allah telah berfirman tentang hal ini dalam Surah Al-Jin (70) ayat 26-27:

عَـٰلِمُ ٱلْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍۢ فَإِنَّهُۥ يَسْلُكُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ رَصَدًۭا ٢٧

(Dia adalah Tuhan) Yang mengetahui yang gaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa tidak mungkin Allah menampakkan hal gaib kecuali kepada nabi dan rasul. Maka, selain nabi dan rasul, tidak akan ada orang mengetahui hal-hal gaib. Maka, dalil ini menunjukkan bahwa Khodir adalah seorang nabi.

Ketahuilah bahwa sebagian ulama Ahlussunnah Wal Jamaah ada yang menyatakan bahwa Khodir adalah seorang wali yang diberikan karamah. Sekalipun demikian, tidak ada keyakinan-keyakinan yang aneh di balik kewaliannya. Berbeda dengan sebagian orang sufi ekstrem yang berpendapat bahwa Khodir adalah seorang wali, tetapi tidak cukup di sini, di atas pendapat ini mereka membangun kebatilan kebatilan, misalnya dengan mengatakan bahwa seorang wali lebih hebat daripada nabi.

Oleh karena itu, Ibnu Arabi berkata, “Kedudukan kenabian berada di alam barzakh sedikit di atas rasul dan di bawah wali.”

BACA JUGA: Kisah Nabi Musa dan Seseorang yang Beliau Tak Sabar Terhadapnya

Secara urutan, Ibnu Arabi mengatakan bahwa yang paling tinggi adalah wali kemudian Rasul, setelah itu nabi. Mereka membalik urutan yang sebenarnya sehingga menjadi batil. Urutan yang benar adalah yang paling tinggi Rasul, kemudian Nabi, kemudian Wali. Contoh sufi ekstrem lainnya, kita dapati riwayat dari Abu Yazid Al-Bustomi yang mengatakan, “Kami (para wali) telah menyelam ke lautan, sementara para nabi dan rasul masih di pinggiran pantai”.

Menurut mereka bahwasanya para wali lebih memahami ilmu daripada para nabi. Orang-orang sufi menjadikan Khodir wali sebagai sarana untuk mencapai kezindikan mereka. Awal mulanya dengan mengatakan bahwa Khodir adalah wali sehingga boleh keluar dari syariat Nabi Musa. Dan anggapan mereka ini merupakan kezindikan dan kekufuran.

Maka dari itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan dalam kitabnya bahwa cara yang pertama untuk membantah orang-orang sufi adalah dengan menunjukkan bahwa Khodir adalah nabi bukan wali. Karena, tatkala bisa dibuktikan bahwa Khodir adalah nabi, segala macam kebatilan dan kekufuran orang-orang sufi akan hancur.

Ibnu Hajar berkata, “Sebagian ulama besar berkata: ‘Simpul pertama yang melepas ikatan kezindikan adalah meyakini bahwa Al-Khodir adalah nabi karena orang-orang zindiq menjadikan pendapat bahwa Khodir bukan nabi untuk menyatakan bahwa wali lebih mulia daripada nabi.’” Karenanya, tidak diragukan lagi bahwa Al-Khodir adalah seorang nabi, bukan seorang wali. Ibnu Hajar berkata, “Dan yang tidak perlu ragu padanya adalah memastikan bahwa Al-Khodir adalah nabi”.[]

Bersambung ke bagian kedua

 

SUMBER: TAFSIR AT TAYSIR SURAH AL-KAHFI, karya Ust. Firanda Andirja, Penerbit Ustadz Firanda Andirja Office

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response