Ibrah

Adab Dalam Menuntut Ilmu

Foto: Pixabay
40views

Ketika Nabi Musa bertemu Khidir, Khidir berkata kepadanya, “Engkau mempunyai ilmu yang Allah ajarkan kepadamu yang tidak aku ketahui. Aku pun mempunyai ilmu yang Allah ajarkan kepadaku yang tidak engkau ketahui.” Kemudian, Nabi Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Melalui ucapan Khidir kepada Nabi Musa, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menguasai seluruh ilmu dan mengetahui segala hal. Nabi Musa adalah seorang nabi yang mulia, tetapi dia tidak mengetahui segala hal, begitu pun Khidir. Masing-masing diajarkan sebuah ilmu oleh Allah yang tidak diajarkan kepada yang lainnya. Khidir ingin menunjukkan hakikat ini kepada Nabi Musa.

BACA JUGA: Ketika Nabi Musa Berniat untuk Menuntut Ilmu

Ketika mereka berada di atas perahu, datanglah seekor burung yang hinggap di tiang perahu itu lalu menukik beberapa kali ke laut. Khidir berkata kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, ilmu kita tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti lubang yang dibuat burung itu di laut.” Ilmu yang dimiliki manusia hanya sedikit dibandingkan dengan ilmu Allah. Allah berfirman dalam Surah Al-Isra’ (17) ayat 85:

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

“... Engkau tidak diberi pengetahuan, kecuali hanya sedikit.

Dari perkataan Nabi Musa kepada Khidir tersebut,kita dapat menyimpulkan dua hal berikut:

Pertama, adab dalam menuntut ilmu, yaitu lemah lembut dalam menyampaikan dan berbicara kepada orang berilmu. Hal ini seperti Nabi Musa berkata kepada Nabi Khidir, “Bolehlah aku mengikutimu?” Nabi Musa menggunakan ungkapan lembut dan kata tanya untuk menghormati Khidir. Ini seolah-olah menyiratkan bahwa aku mengikutimu, aku adalah pengikutmu dan bukan musuhmu, bukan pula aku mau mengajarimu. Aku mengikutimu karena satu tujuan, perjalananku kepadamu dan bersamamu mempunyai tujuan, yaitu agar aku belajar darimu dan agar engkau mengajarkanku ilmu yang benar di antara ilmu yang telah diajarkan kepadamu. Jika dituntut dengan mematuhi adabnya, ilmu itu akan menjadi baik dan bermanfaat. Sebaliknya, jika dituntut tanpa adab, ilmu itu akan merusak orang yang menuntut ilmu itu dan orang lain.

BACA JUGA: Sebagian Petunjuk dalam Hadis tentang Kisah Nabi Musa

Sebagian penuntut ilmu mengabaikan etika dalam menuntut ilmu. Jika salah seorang dari mereka membacakan satu atau dua masalah, atau menghafal satu atau dua hadis, dia akan mengira dirinya telah pandai dan menjadi seorang mujtahid sehingga harus dihormati. Dia “berpura-pura” menjadi ulama dan bertingkah laku seperti ulama. Padahal, sungguh dia telah merendahkan dan mempermalukan para ulama karena tindakannya itu. Orang yang mematuhi etika menuntut ilmu berarti menghormati ilmu dan seluruh kebaikannya. Di antara kitab terbaik tentang etika menuntut ilmu adalah kitab berjudul Tadzkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim fi Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim (Peringatan bagi Pendengar dan Pembicara tentang Adab Pengajar dan Penuntut Ilmu) yang ditulis oleh Ibnu Jama’ah.

Kedua, tujuan menuntut ilmu dan belajar adalah untuk memperoleh ilmu yang benar petunjuk), sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Kahfi (18) ayat 66:

 هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari hal yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?

Kata petunjuk (رُشْدًا) dalam kalimat tersebut berarti membedakan, yaitu membedakan sesuatu. Kita harus mempergunakan ilmu nahwu (tata bahasa) sebagai alat untuk mengeluarkan dalil-dalil dari susunan bahasa Al-Quran ini. Nabi Musa mengungkapkan tujuannya dalam menuntut ilmu dengan kata رُشْدًا bahwa dia ingin mempelajari ilmu itu dan belajar agar menjadi orang yang diberi petunjuk. Selain itu, mempelajari ilmu yang bermanfaat dan benar mengandung petunjuk sehingga membuatnya sanggup untuk berinteraksi dan hidup di tengah-tengah manusia dengan petunjuk itu.

BACA JUGA: Hikmah Didahulukannya Rahmat Daripada Ilmu

Sebagian penuntut ilmu menjadikan tujuan belajar mereka adalah untuk belajar. Mereka mengagungkan motto belajar untuk belajar dan ilmu untuk ilmu. Namun, Nabi Musa mengajarkan kepada para penuntut ilmu bahwa menuntut ilmu dan belajar dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang mulia, yaitu memperoleh petunjuk dan merealisasikannya. Kita juga melihat sebagian penuntut ilmu mempelajari ilmu yang mengandung keburukan dan kemudharatan atau mendorong pada akhlak tercela dan sifat yang buruk.

Ada juga yang menuntut berbagai ilmu tidak bermanfaat dan hina. Padahal, mereka banyak membuang harta, waktu, pengorbanan kemampuan, dan energi. Jika tidak, bersumpahlah dengan nama Allah, petunjuk apa yang didapat dari mempelajari musik dan lagu, tarian, melukis, memahat, dan mematung? Ilmu bermanfaat adalah ilmu yang menghasilkan petunjuk sebagaimana sebuah pohon yang baik dan berkah sehingga menghasilkan buah yang baik dan bermanfaat serta mendorong amal dan tindakan yang baik.[]

SUMBER: KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN: Orang-Orang yang Dimuliakan dan Dihinakan Allah, Penulis: Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, Penerbit: Gema Insani.

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response