Ibrah

Pesona-Pesona Keimanan dalam Perang Badar

Foto: Unsplash
28views

Dalam Perang Badar, banyak gambaran memesona yang menampakkan kekuatan iman dan kekukuhan pijakan. Sebab, dalam peperangan ini, banyak bapak yang harus berhadapan dengan anaknya sendiri, saudara harus berhadapan dengan saudaranya. Namun, motivasi masing-masing berbeda dan kedua belah pihak dipisahkan dengan pedang, yang satu harus menundukkan yang lain dan kemarahan pun menjadi lebur.

Berikut ini beberapa gambaran iman kaum Muslimin yang mengandung kekaguman di dalam peperangan Badar:

Pertama, Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada para sahabat, “Sesungguhnya aku tahu ada beberapa orang dari Bani Hasyim dan lain-lainnya yang diajak pergi dengan paksa. Mereka tidak merasa perlu memerangi kita. Barang siapa bertemu dengan seseorang dari Bani Hasyim, janganlah membunuhnya. Barang siapa bertemu Abul Bakhtari bin Hisyam, janganlah membunuhnya  Barang siapa bertemu Al-Abbas bin Abdul Muththalib, janganlah membunuhnya. Sesungguhnya dia diajak pergi dengan paksa.”

BACA JUGA: Kisah Perang Badar

Abu Hudzaifah bin Utbah berkata, “Apakah kami boleh membunuh bapak, anak, saudara, dan kerabat kami, lalu membiarkan Al-Abbas? Demi Allah, andaikan aku bertemu dengannya aku pasti membabatnya dengan pedang.”

Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku membabat lehernya dengan pedang. Demi Allah, dia telah berbuat kemunafikan.” Abu Hudzaifah menuturkan, “Aku merasa tidak aman karena kata-kata yang pernah aku ucapkan tersebut. Aku selalu dihantui perasaan takut, kecuali bila aku bisa menebusnya dengan gugur syahid”. Akhirnya, Abu Hudzaifah benar-benar gugur syahid pada Perang Yamamah.

Kedua, Rasulullah ﷺ melarang membunuh Abul Bakhtari karena dahulu ia adalah orang yang paling sering melindungi beliau selama berada di Mekkah. Dia juga tidak pernah mengganggu beliau atau menampakan sesuatu yang membuat beliau tidak senang. Selain itu, dia termasuk orang yang berinisiatif menggugurkan piagam pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.

Namun, Abul Bakhtari tetap terbunuh. Ini terjadi karena Al-Mujadzdzar bertemu dengannya yang sedang bersama rekannya di tengah pertempuran. Mereka berdua sama-sama berperang

Al-Mujadzdzar berkata kepadanya, “Wahai Abul Bakhtari, Rasulullah ﷺ telah melarang kami membunuhmu”. Ia menjawab, “Bagaimana dengan temanku?” Al-Mujadzdzar berkata, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu hidup”. Abul Bakhtari berkata, “Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama dengannya”. Mereka kemudian menyerang sehingga dengan terpaksa Al-Mujadzdzar membunuh Abul Bakhtari.

Ketiga, Abdurrahman bin Auf dan Umayyah bin Khalaf merupakan teman karib semasa jahiliyah di Mekkah. Saat Perang Badar berkecamuk, Abdurrahman bin Auf melewati Umayyah bin Khalaf yang sedang berpegangan tangan dengan anaknya, Ali bin Umayyah. Saat itu, Abdurrahman membawa beberapa baju besi dari hasil rampasan. Ketika melihat dirinya, Umayyah bertanya, “Apakah engkau ada perlu denganku? Aku lebih baik daripada baju-baju besi yang engkau bawa itu. Aku tidak akan pernah mengalami kejadian seperti hari ini. Apakah kalian membutuhkan susu?”

Artinya, Umayyah akan memberikan tebusan beberapa unta yang banyak menghasilkan air susu jika dia nanti tertawan. Abdurrahman membuang baju-baju besi yang dibawanya lalu menuntun Umayyah dan anaknya berjalan.

BACA JUGA: Perang Badar dan Penjelasannya dalam Al-Quran

Inilah penuturannya: “Ketika aku sedang berjalan memegang tangan mereka berdua di kanan kiriku, Umayyah bin Khalaf bertanya kepadaku, ‘Siapakah seseorang di antara kalian yang mengenakan tanda pengenal di dadanya berupa sehelai bulu burung unta?’

‘Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib’, jawabku.

‘Dia-lah orang yang paling banyak menimpakan bencana di pasukan kami’, kata Umayyah.

Demi Allah, selagi aku berjalan memegang tangan mereka berdua, tiba-tiba Bilal melihat Umayyah, yang waktu di Mekkah dulu, dia-lah yang telah menyiksanya.

Bilal berkata, ‘Dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.’

‘Wahai Bilal, dia adalah tawananku’, kataku.

‘Aku tidak selamat jika dia masih selamat,’ katanya sekali lagi.

‘Apakah engkau mendengarku, wahai putra orang yang berkulit hitam?’ tanyaku.

Namun, dia tetap berkata seperti tadi. Setelah itu, dia berteriak dengan suara nyaring, ‘Wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat’.

Lalu, mereka mengepung kami bertiga sehingga membuat kami seperti berada di tempat pemotongan ikan. Aku berusaha melindungi Umayyah. Namun, ada seseorang menghunus pedangnya lalu menyabetkannya tepat mengenai anaknya. Umayyah berteriak keras dan tidak pernah kudengar dia berteriak sekeras itu.

‘Carilah selamat sebisamu karena tidak ada lagi keselamatan di situ. Demi Allah, aku sudah tidak membutuhkanmu sedikit pun,’ kataku. Lalu, mereka menyabetkan pedang kepada mereka berdua hingga tidak berkutik lagi. ‘Semoga Allah merahmati Bilal. Baju-baju besiku sudah hilang dan hatiku menjadi galau gara-gara tawananku,'” kataku.

Di dalam Zadul Ma’ad disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Umayyah, “Telentangkan badanmu!” Umayyah pun menelentangkan badannya, lalu Abdurrahman menelentangkan badan di atas badan Umayyah. Namun, mereka tetap menusuk-nusukkan pedang ke badan Umayyah yang ditindih Abdurrahman. Akibatnya, sebagian tusukan pedang mereka mengenai badan Abdurrahman bin Auf.

Keempat, dalam peperangan itu, Umar bin Al-Khaththab membunuh pamannya sendiri, Al-Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah.

Kelima, saat peperangan itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq memanggil anaknya yang bergabung dengan pasukan kaum musyrikin. Ia berkata kepadanya “Di manakah hartaku, wahai anak kecil yang buruk?” Abdurrahman menjawab, “Yang ada saat ini adalah senjata dan kuda serta pedang tajam yang siap membabat orang tua yang sudah renta”.

Keenam, ketika banyak pasukan musuh yang menyerah dan kemudian ditawan sementara saat itu Rasulullah ﷺ berada di tenda bersama Sa’ad bin Mu’adz yang berdiri di pintu tenda itu untuk menjaga beliau sambil menghunus pedangnya, maka beliau melihat ada ketidaksukaan di wajah Sa’ad atas apa yang dilakukan orang-orang. Beliau bersabda kepadanya, “Demi Allah, sepertinya engkau tidak suka melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, wahai Sa’ad.”

“Demi Allah, begitulah wahai Rasulullah. Ini adalah peristiwa pertama yang ditimpakan Allah terhadap orang-orang musyrik. Bagaimanapun, membunuh orang-orang musyrik itu lebih kusenangi daripada membiarkan mereka tetap hidup.”

Ketujuh, pada perang ini, pedang Ukasyah bin Mihshan Al-Asadi patah. Karena itu, dia menemui Rasulullah ﷺ. Lalu, beliau memberinya sepotong kayu dari akar pohon, seraya bersabda, “Bertempurlah dengan ini, wahai Ukasyah!” Setelah itu, Ukasyah mengambilnya dari tangan beliau dan mengayunkannya. Potongan akar itu berubah menjadi sebatang pedang yang panjang, putih, mengkilat, dan amat tajam. Dia pun bertempur dengan menggunakan pedang itu hingga Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin. Pedang itu dinamakan Al-‘Aun. Pedang tersebut selalu menyertai Ukasyah dalam berbagai peperangan bersama beliau hingga ia terbunuh dalam Perang Riddah, dan saat itu pun pedang tersebut masih tetap bersamanya.

Kedelapan, setelah peperangan usai, Mush’ab bin Umair Al-Abdari melewati saudaranya, Abu Aziz bin Umair, yang sebelah tangannya sedang diikat seorang Anshar sebagai tawanan. Dalam peperangan itu, Abu Aziz bergabung bersama pasukan musyrikin. Mush’ab berkata kepada orang Anshar yang menawannya, “Ikat kedua tanganmu sebagai ganti dirinya. Sesungguhnya ibunya adalah orang yang kaya raya. Siapa tahu dia akan menembusnya dan tembusannya menjadi milikmu”. “Seperti itukah engkau memperlakukan aku?” tanya Abu Aziz. “Dia juga saudaraku selain dirimu”, jawab Mush’ab.

BACA JUGA: Kegigihan dan Patriotisme Sa’ad bin Abu Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah

Kesembilan, Nabi ﷺ memerintahkan agar bangkai orang-orang musyrik dimasukkan ke dalam sumur kering. Ketika mayat Utbah bin Rabi’ah diangkat dan dimasukkan ke dalam sumur, Rasulullah ﷺ memandangi wajah anak Utbah yang Muslim, Abu Hudzaifah, yang tampak sedih, seraya bertanya, “Wahai Abu Hudzaifah, adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu karena keadaan ayahmu ini?”

Dia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak lagi ragu tentang diri ayahku dan kematiannya. Namun, bagaimanapun, aku masih mengakui ketajaman pikiran, kelembutan, dan keutamaannya. Sebenarnya aku berharap dia mendapat petunjuk untuk masuk Islam. Setelah aku melihat apa yang menimpanya dan ingat bagaimana dia mati dalam kekafiran, padahal sebelumnya aku sudah menaruh harapan terhadap dirinya, maka aku menjadi sedih karenanya. ” Kemudian, Rasulullah ﷺ mendoakan kebaikan bagi Abu Hudzaifah.[]

SUMBER: SIRAH RASULULLAH: Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Penerbit: Ummul Qura

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response