Historia/Tarikh

Mengenal Satuan-Satuan Pasukan sebelum Perang Badar (Bagian Kedua – Habis)

foto: Pixabay
31views

Dalam bagian pertama telah dituliskan enam satuan pasukan yang Rasulullah ﷺ kirimkan—bahkan beliau sendiri juga memimpin pasukan—dengan harapan yang ingin dicapai adalah pihak Quraisy merasa khawatir terhadap keamanan jalur perdagangan mereka, lalu mendorong mereka untuk mengadakan perdamaian, membatalkan niat untuk menyerbu kaum Muslimin, tidak menghalangi manusia untuk mengikuti jalan Allah, dan tidak lagi menyiksa Mukmin yang lemah di Mekkah sehingga kaum Muslimin bisa bebas menyampaikan risalah Allah di seluruh Jazirah Arab.

BACA JUGA: Mengenal Satuan-Satuan Pasukan sebelum Perang Badar (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Masih terdapat satuan pasukan lain yang akan dituliskan di bawah ini.

Ketujuh, Perang Dzul Usyairah. Pada Jumadil Ula dan Jumadil Akhir tahun 2 Hijriyah bertepatan dengan bulan November dan Desember 623 Masehi,  Rasulullah ﷺ keluar memimpin 150 atau 200 Muhajirin untuk mengadang kafilah dagang Quraisy yang hendak pergi ke Syam. Kabar yang sampai kepada beliau, kafilah itu membawa harta orang-orang Quraisy. Namun, ketika tiba di Dzul Usyairah (dekat Yanbu’), rombongan Quraisy sudah melewati tempat itu beberapa hari sebelumnya. Kafilah inilah yang kemudian dicari-cari oleh beliau sekembalinya dari Syam, yang kemudian menjadi penyebab meletusnya Perang Badar Kubro.

Kepergian beliau ini dilakukan pada akhir Jumadil Ula dan kembali pada Awal Jumadil Akhir, menurut riwayat Ibnu Ishaq. Boleh jadi inilah yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan pakar sejarah tentang penerapan bulan terjadinya peperangan ini. Dalam kesempatan ini, beliau mengikat perjanjian damai dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhamrah. Beliau mengangkat Abu Salamah Al-Makhzumi sebagai wakil beliau di Madinah. Bendera perang berwarna putih dan pembawanya adalah Hanuah bin Abdul Muthalib.

Kedelapan, pengiriman satuan pasukan ke Nakhlah. Pada bulan Rajab tahun 2 Hijriyah, yang bertepatan dengan Januari 624 Masehi, Rasulullah ﷺ mengirim Abdullah bin Jahsy Al-Asadi ke Nakhlah bersama 12 orang Muhajirin. Setiap orang menaiki seekor unta. Dalam kesempatan ini, Rasulullah ﷺ menulis surat yang tertutup dan melarang Abdullah bin Jahsy membuka dan membacanya, kecuali setelah perjalanan 2 hari. Maka, Abdullah berangkat dan setelah 2 hari perjalanan kemudian membuka surat itu dan membacanya. Ternyata bunyi surat itu adalah, “Jika engkau sudah membaca surat ini, maka pergilah menuju Nakhlah, di antara Mekkah dan Thaif. Selidiki rombongan dagang Quraisy lalu sampaikan kabar tentang mereka kepada kami.”

Abdullah bin Jahsy  berkata, “Aku mendengar dan aku pun taat”. Lalu, dia memberitahukan isi surat beliau itu kepada rekan-rekannya. Dia tidak memaksa mereka untuk ikut. Dia berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahid karena mengemban misi ini maka hendaklah dia bangkit dan siapa yang takut mati, maka hendaklah dia pulang. Aku tetap akan berangkat ke sana”. Maka, mereka pun berangkat. Hanya saja, di tengah perjalanan, unta yang dinaiki Sa’ad bin Abu Waqqash dan Utbah bin Ghazwan lepas sehingga keduanya tidak bisa bergabung dan harus mencari unta tersebut.

Abdullah bin Jahsyi terus berjalan hingga tiba di Nakhlah. Di sana, dia memergoki rombongan dagang Quraisy yang membawa kismis, kulit, dan berbagai macam barang dagangan. Dalam rombongan itu terdapat Amr bin Al-Hadhrami, Utsman dan Naufal (dua anak Abdullah bin Al-Mughirah) dan Al-Hakam bin Kisan, budak Bani Al-Mughirah.

BACA JUGA: Ancaman Kaum Quraisy Mekkah dan Turunnya Izin Berperang

Kaum Muslimin bermusyawarah, apa sikap yang harus diambil untuk menghadapi rombongan dagang Quraisy itu. Mereka berkata, “Kita saat ini berada pada hari terakhir dari bulan Rajab, yaitu bulan Haram. Jika kita memerangi mereka, berarti kita telah melanggar bulan Haram. Jika kita biarkan mereka, malam ini pula mereka sudah masuk tanah suci”. Akhirnya, mereka menarik kesimpulan secara bulat untuk menghadapi rombongan Quraisy itu hingga salah seorang di antara orang-orang Quraisy itu, yaitu Amr bin Al-Hadrami terkena hunjaman anak panah dan tewas. Utsman dan Al-Hakam ditawan, sedangkan Naufal bisa melepaskan diri. Seluruh barang dagangan dan dua orang tawanan dibawa ke Madinah. Mereka juga menyisihkan seperlima bagian dari harta rampasan. Ini merupakan yang pertama kali terjadi dalam Islam, korban yang terbunuh juga merupakan korban yang pertama dalam Islam, dan dua tahanan ini juga merupakan tawanan yang pertama dalam Islam.

Namun, Rasulullah ﷺ tidak sependapat dengan apa yang mereka lakukan. Beliau bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang pada bulan Haram”. Beliau tidak mau menerima barang dagangan dan tawanan itu.

Dengan kejadian ini, orang-orang musyrik merasa mendapat angin untuk menuduh kaum Muslimin sebagai orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah sehingga muncul komentar yang simpang siur. Kemudian, turun ayat yang menuntaskan komentar yang simpang siur tersebut, yang isinya bahwa orang-orang musyrik jauh lebih besar dosanya daripada apa yang dilakukan orang-orang Muslim. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 217:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Namun, menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Fitnah (pemusyrikan dan penindasan) lebih kejam daripada pembunuhan.” Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu jika mereka sanggup. Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”

Wahyu ini menegaskan bahwa desas-desus yang disebarkan oleh orang-orang musyrik untuk memancing kesangsian terhadap sepak terjang para pejuang Muslim tidak ada artinya apa-apa. Sebab, segala kesucian dan kehormatan telah dilanggar orang-orang musyrik untuk memerangi Islam dan menekan para pemeluknya. Bukankah sebelum itu orang-orang Muslim menetap di tanah suci, tetapi harta mereka dirampas dan nabi mereka hendak dibunuh? Lalu, apa salahnya jika secara tiba-tiba kesucian itu dikembalikan seperti sedia kala? Tidak sangsi lagi bahwa desas-desus yang sengaja disebarkan orang-orang musyrik itu timbul dari niat jahat mereka.

BACA JUGA: Perang Badar dan Penjelasannya dalam Al-Quran

Setelah itu, Rasulullah ﷺ melepaskan dua tawanan itu dan membayarkan tebusan dari korban yang terbunuh kepada keluarganya.

Itulah satuan-satuan pasukan yang dikirim maupun yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ﷺ sebelum Perang Badar. Dalam suatu peperangan pun tidak terjadi perampasan harta dan juga tidak ada korban jiwa, kecuali dalam suatu insiden yang dilakukan orang-orang musyrik, di bawah pimpinan Kurz bin Jabir Al-Fihr. Peristiwa ini sebenarnya bermula dari orang-orang musyrik sendiri.[]

SUMBER: SIRAH RASULULLAH: Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Penerbit: Ummul Qura.

Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp Group : https://chat.whatsapp.com/G5ssUWfsWPCKrqu4CbNfKE
Instagram: https://instagram.com/pusatstudiquran?igshid=NTc4MTIwNjQ2YQ==
Facebook Fanspage : https://www.facebook.com/profile.php?id=61550224142533&mibextid=ZbWKwL

Leave a Response